Lebaran tahun ini linimasa media sosial saya penuh akan potret keluarga dengan nuansa animasi Studio Ghibli seperti Spirited Away dan My Neighbor Totoro, yang hangat, lucu, dan penuh nostalgia.
Baik di X, TikTok, Instagram, bahkan status Whatsapp, orang-orang dengan penuh semangat mengubah foto pribadi mereka mengikuti gaya khas ilustrasi perusahaan yang diprakarsai oleh Hayao Miyazaki itu.
Kehadiran teknologi Artificial Intelegence (AI) rasanya menyenangkan banyak pihak. Semua terasa lebih mudah dan instan. Contohnya saja bagi mereka yang merasa tidak memiliki kemampuan gambar mumpuni, generator gambar di ChatGPT-4o menjadi taman bermain baru. Apalagi semenjak viral di media sosial.
Hanya dengan menuliskan perintah sederhana, siapa pun bisa mendapatkan ‘karya seni’ yang mereka inginkan dalam sekali klik. Tak perlu menunggu berhari-hari, berpikir keras, maupun mengeluarkan uang. Namun, dibalik euforia itu ada seniman menggigit bibir menahan geram. Mengapa?
Bagaimana Seni Buatan AI Bekerja?
Dilansir dari YaleDailyNews, generator gambar AI bekerja dengan cara dilatih untuk mengenali, menganalisis, memahami, dan meniru pola visual dari jutaan gambar yang ada di internet.
Gambar-gambar tersebut biasanya diambil dari berbagai sumber online, termasuk karya illustrator digital, foto, desain grafis, bahkan fan art, yang diunggah secara publik oleh penciptanya.
Dari situ, AI mempelajari elemen visual seperti, warna, bentuk, tekstur, komposisi, dan gaya artistik, yang kemudian dicocokkan dengan deskripsi teks pengguna untuk dibuatkan karya ‘baru’ sesuai perintah.
Masalah utamanya ialah, pengambilan data gambar oleh developer-developer besar ini dilakukan tanpa izin pemilik, tanpa royalti, dan tanpa mencantumkan nama pembuat aslinya.
Bagi sebagian orang awam, hal ini terdengar sah-sah saja. Toh, selama hasilnya tidak dikomersilkan dan hanya untuk hiburan pribadi, apa salahnya? Akan tetapi bagi seniman, hal ini merupakan salah satu bentuk eksploitasi dan pencurian.
Sederhananya seperti ini, bayangkan Kawan GNFI diminta oleh atasan untuk membuat presentasi singkat gambaran umum rencana bisnis untuk perusahaan. Kamu menghabiskan waktu berminggu-minggu melakukan riset dan diskusi untuk menghasilkan rancangan yang matang.
Kemudian, di saat hari presentasi, seorang rekan yang kamu ajak diskusi ternyata menggunakan bahan presentasimu tanpa sepengetahuan maupun mencantumkan namamu. Apa yang kamu rasakan?
Perspektif Seniman: “AI melanggar hak cipta”
Kemunculan seni AI adalah mimpi buruk bagi seniman karena mengancam mata pencaharian dan integritas karya mereka. Keresahan akan AI ini bukan sekadar isu lokal, melainkan fenomena mendunia yang menyoroti bahwa undang-undang hak cipta belum sejalan dengan perkembangan teknologi seni AI ini.
Seniman seperti Sarah Andersen, Karla Ortiz, dan Kelly McKernan telah mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan terhadap Stability AI, sebuah perusahaan AI asal Inggris, pada tahun 2023 setelah mendapati karya mereka digunakan secara ilegal untuk melatih mesin AI.
Dikutip dari wawancaranya bersama BBC, Kelly McKernan merasa “dicurangi” dengan kehadiran AI yang dengan mudah mereplika karyanya tanpa memperkerjakannya. Baginya hal ini mengancam karier yang telah ia dan banyak seniman lain bangun.
Tak berhenti di situ, pada awal tahun 2025, sebuah petisi yang telah ditanda tangani oleh lebih dari 6.000 seniman kembali mempertegas posisi seni AI yang merugikan. Petisi tersebut berisi permintaan pembatalan pelelangan karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan.
“Banyak karya seni yang Anda rencanakan untuk dilelang dibuat menggunakan model AI yang diketahui dilatih pada karya berhak cipta tanpa lisensi,” bunyi surat tersebut.
Bagi para seniman, tindakan ini sama saja dengan mendukung perusahaan AI melakukan melakukan “pencurian massal terhadap karya seniman manusia.”
“Tapi Seniman Juga Terinspirasi dari Orang Lain, kan?”
Argumen ini acap kali dijadikan alasan untuk menangkal mereka yang menentang seni AI. Memang benar, seniman juga terinspirasi dari karya orang lain. Namun, yang perlu digaris bawahi ialah terdapat proses transformasi, interpretasi, dan subjektivitas mereka ketika terinspirasi.
Inspirasi disini bukanlah menyalin mentah-mentah, jika demikian maka itu namanya plagiasi. AI hanya mereplikasi style asli dari dataset yang ia miliki dan menghasilkan versi campuran yang mereka sebut ‘karya baru’, tanpa seizin pencipta orisinilnya.
Di ChatGPT misalnya, pengguna hanya perlu memasukkan perintah teks “ubahlah gambar ini menjadi animasi Ghibli dengan latar hangat dan khas Jepang” dan AI dengan mudahnya menciptakan gambar berdasarkan gaya visual yang dipelajari.
Tidak ada proses berpikir maupun interpretasi pribadi seperti pada seniman manusia. Hasilnya mungkin ‘mirip’ seperti yang diinginkan, tetapi tidak ada ‘nyawa’ dalam karya tersebut.
Ke Mana Kita Akan Melangkah?
Seni AI sebenarnya bukan musuh. Ia bisa menjadi alat yang mendukung proses kreatif, asal digunakan dengan etis. Sejatinya, bagaimana kita memanfaatkan barang dan teknologi menentukan dampaknya.
Esensi seni ialah ekspresi diri dan identitas oleh pelakunya, sedangkan bagi peminat merupakan wadah untuk terkoneksi dan berempati dengan karyanya. Namun, dapatkah kita merasakan hal tersebut dari hasil seni yang diperoleh dari hasil tidak etis?
Di era kecerdasan buatan ini, apresiasi terhadap proses kreatif manusia harus lebih dijaga. Jika AI mengambil alih lapangan ini, apakah keindahan tanpa orisinalitas dan etika tetap bisa disebut seni?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News