Selama ini, kulit buah sering kali dianggap sebagai limbah dapur yang langsung dibuang. Padahal, di balik sisa kulit pisang, apel, jeruk, atau bahkan nanas itu, tersimpan potensi besar yaitu pektin. Senyawa alami ini bisa diekstraksi dari kulit buah dan dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi pada industri pangan salah satunya sebagai bahan pengental pada berbagai produk pangan seperti selai, jelly, saus, hingga yoghurt.
Pektin adalah polisakarida yang secara alami terdapat di dinding sel tanaman, terutama pada bagian kulit dan inti buah. Salah satu keunggulannya adalah kemampuannya menyerap dan mengikat banyak air, sehingga berfungsi efektif sebagai bahan pengental dan pembentuk gel.
Secara sederhana, pektin dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kandungan gugus metilnya, yaitu pektin bermetoksi tinggi (high methoxyl pectin) dan pektin bermetoksi rendah (low methoxyl pectin). Pektin bermetoksi tinggi memiliki kandungan gugus metil lebih dari 50% dan umumnya membentuk gel hanya jika terdapat gula dalam jumlah tinggi dan suasana asam.
Jenis ini banyak digunakan dalam pembuatan selai, jeli, dan produk manisan. Sementara itu, pektin bermetoksi rendah memiliki kandungan gugus metil di bawah 50% dan mampu membentuk gel dengan bantuan ion kalsium, sehingga cocok digunakan dalam produk rendah gula atau makanan diet.
Sumber utama pektin biasanya berasal dari buah-buahan seperti jeruk dan apel, termasuk limbah pengolahannya seperti kulit jeruk dan ampas apel. Kulit jeruk mengandung sekitar 20–30% pektin dalam bentuk kering, sementara ampas apel mengandung sekitar 10–15%.
Selain itu, pektin juga bisa diperoleh dari bahan alternatif seperti kulit kakao, kepala bunga matahari, bit gula, labu, semangka, buah naga, dan pir, dengan kandungan sekitar 10–20% pada berat kering. Bahkan pada buah dan sayuran non-konvensional seperti aprikot, ceri, wortel, dan jeruk segar, pektin juga ditemukan meski dalam kadar lebih rendah, yakni berkisar antara 0,4% hingga 3,5%.
Menariknya, proses ekstraksi pektin dari kulit buah bisa dilakukan dengan cara yang relatif sederhana. Proses ini umumnya dimulai dengan mengeringkan dan menggiling kulit buah, seperti apel, jeruk, atau pisang. Setelah itu, serbuk kulit buah direbus dalam larutan asam seperti asam sitrat—selama beberapa jam untuk membantu melepaskan pektin dari jaringan sel.
Larutan hasil rebusan kemudian disaring, dan pektin dipisahkan dari cairan dengan cara diendapkan, biasanya menggunakan etanol. Setelah dikeringkan, pektin akan berbentuk bubuk yang siap digunakan sebagai bahan pengental alami.
Pada industri pangan, pectin memiliki aplikasi yang luas antara lain sebagai bahan pengental dan pembentuk gel, pengemulsi, dan bahan dalam pembuatan edible film. Pektin dikenal sebagai salah satu bahan penting dalam pembuatan berbagai produk makanan bertekstur semi-padat, seperti jeli, selai, marmalade, permen lunak, kue kering, hingga yoghurt.
Kandungan hidrokoloid dalam pektin membuatnya mampu membentuk gel yang stabil, sehingga cocok digunakan untuk mengatur kekentalan dan tekstur makanan. Dalam proses produksi, pektin biasanya ditambahkan di tahap akhir agar tidak terkena panas berlebih, sehingga bisa larut secara sempurna dan bekerja optimal sebagai pengental alami. Karena berasal dari bahan alami, pektin ini mudah diekstraksi, tidak beracun, dan aman digunakan dalam produk pangan maupun aplikasi lainnya.
Tak hanya berguna sebagai bahan pengental, pektin juga menyimpan manfaat kesehatan. Beberapa studi menyebutkan bahwa pektin dapat membantu menurunkan kolesterol, memperlambat penyerapan gula, hingga mempercepat penyembuhan luka pada penderita diabetes.
Selain itu, pektin sebagai hidrokoloid mampu mengikat banyak air dalam proses pencernaan, sehingga memberikan efek rasa kenyang yang lebih lama, mengurangi penyerapan glukosa, dan meningkatkan massa feses.
Dengan semakin pemanfaatan kulit buah menjadi salah satu inovasi yang patut didorong. Selain mengurangi jumlah sampah organik, inisiatif ini juga menciptakan nilai tambah dari bahan yang sebelumnya tak dilirik. Mengolah kulit buah jadi pengental memang bukan solusi besar yang menyolok.
Tapi di balik langkah kecil ini, ada harapan besar: membangun sistem pangan yang lebih bijak, memanfaatkan sumber daya secara maksimal, dan tentu saja—menyajikan makanan yang tak hanya enak, tapi juga bertanggung jawab.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News