indonesia berpotensi masuk daftar dirty 15 amerika serikat apa yang harus dilakukan - News | Good News From Indonesia 2025

Indonesia Berpotensi Masuk Daftar ‘Dirty 15’ Amerika Serikat, Apa yang Harus Dilakukan?

Indonesia Berpotensi Masuk Daftar ‘Dirty 15’ Amerika Serikat, Apa yang Harus Dilakukan?
images info

Beberapa waktu belakangan, berbagai outlet media luar negeri tengah ramai membicarakan negara-negara yang berpotensi mendapatkan tarif tambahan yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang disebut dengan Dirty 15.

Dirty 15 adalah daftar 15 negara yang dianggap menjadi penikmat surplus terbesar perdagangan Amerika Serikat. Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent, mengungkap jika beberapa negara mungkin akan mendapatkan angka tarif yang sangat tinggi dan sebaliknya.

Menukil dari German Marshall Fund of the United States (GMF)—sebuah lembaga pemikir kebijakan publik Amerika nonpartisan untuk kerja sama dengan Eropa—Bessent menyebut jika beberapa tarif mungkin tidak perlu diberlakukan karena ada kesepakatan yang sudah dinegosiasikan sebelumnya.

Sebagai tambahan informasi, sejauh ini Gedung Putih belum merilis daftar 15 negara tersebut secara resmi. Namun, jika dilihat melalui data Biro Sensus Amerika Serikat 2024, Tiongkok dan Uni Eropa memuncaki posisi teratas dengan total defisit masing-masing sebesar US$295,4 miliar dan US$235,6 miliar.

Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, Arif Havas Oegroseno, mengungkap bahwa Indonesia masuk ke dalam daftar Dirty 15 dan berpotensi untuk menerima tarif tambahan. Indonesia sendiri tercatat memiliki total defisit perdagangan dengan Amerika Serikat sebesar US$17,9 miliar.

Beberapa negara yang masuk dalam daftar tersebut menurut situs resmi Biro Sensus AS antara lain, Tiongkok, Uni Eropa, Meksiko, Vietnam, Irlandia, Jerman, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Kanada, India, Thailand, Italia, Swiss, Malaysia, Indonesia, Prancis, Austria, dan Swedia.

Trump sudah memberlakukan tarif sebesar 10 persen untuk barang-barang impor asal Tiongkok. Tidak hanya itu, Kanada dan Meksiko juga dikenakan tarif sebesar 25 persen. Di sisi lain, Amerika Serikat ikut menerapkan tarif sebesar 25 persen pada impor baja dan aluminium global.

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan Indonesia?

Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana, M.A., memberikan tanggapannya terkait langkah yang sebaiknya diambil Indonesia untuk menghadapi kemungkinan tersebut.

Menurutnya, jika Indonesia benar-benar masuk ke dalam daftar Dirty 15, terdapat dua langkah diplomatik yang dapat diambil. Pertama, Indonesia harus melakukan diplomasi ekonomi secara proaktif.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) perlu segera melakukan dialog bilateral dengan Amerika Serikat untuk mencari solusi yang dapat menguntungkan dua belah pihak.

Di sisi lain, Indonesia dapat memanfaatkan forum-forum internasional, seperti WTO, G20, atau ASEAN-US Summit untuk menegosiasikan posisi Indonesia dan menunjukkan bahwa perdagangan dengan Indonesia bersifat saling menguntungkan.

Kedua, Adim turut menyinggung terkait pentingnya untuk mengoptimalkan peran diaspora Indonesia dan kelompok lobi bisnis di Amerika Serikat. Menurutnya, pemerintah juga bisa membangun kemitraan dengan pengusaha dan politisi Amerika Serikat yang memiliki kepentingan pada hubungan dagang dengan Indonesia.

“Mengoptimalkan peran diaspora Indonesia dan kelompok lobi bisnis di AS, yaitu melalui kerja sama dengan diaspora Indonesia di AS dan kelompok lobi bisnis untuk mempengaruhi kebijakan perdagangan AS agar lebih menguntungkan bagi Indonesia,” ungkapnya saat dimintai keterangan oleh GNFI, Kamis (27/3/2025).

Alasan Amerika Serikat Menerapkan Tarif pada Dirty 15

Jika Indonesia masuk dalam 'Dirty 15', maka Indonesia harus menjalankan diplomasi ekonomi dan membangun kemitraan dengan kelompok bisnis AS.
info gambar

Ada dua alasan utama yang dikemukakan Adim terkait kebijakan Dirty 15 yang digaungkan negara adidaya itu. Amerika Serikat disebut ingin mengurangi defisit perdagangan dengan negara-negara yang dianggap merugikan industri domestiknya.

“Dengan menargetkan negara-negara tertentu, AS berharap dapat mencegah praktik dumping, manipulasi mata uang, atau subsidi yang dianggap tidak adil bagi industri dalam negeri,” jelas Kepala Laboratorium Hubungan Internasional UMM ini.

Selain itu, Amerika Serikat juga ingin memastikan bahwa negara-negara yang masuk dalam daftar Dirty 15 itu tidak mendukung kebijakan ekonomi yang menguntungkan Tiongkok secara tidak langsung.

Tidak sedikit negara-negara yang ada dalam daftar memang memiliki hubungan dagang yang erat dengan Tiongkok. Artinya, Dirty 15 juga dapat dijadikan sebagai strategi Amerika Serikat dalam persaingan ekonomi melawan Tiongkok.

Dampak Tren Proteksionisme Amerika Serikat untuk Indonesia

Trump memang dikenal sebagai pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan negaranya. Kebijakan tarif Trump ini dianggap sebagai kebijakan proteksionis yang diklaim bertujuan untuk melindungi industri lokal dari persaingan asing yang dianggap tidak adil.

Jika tren proteksionis yang dilakukan Trump ini terus berlanjut, Indonesia akan ikut terciprat berbagai dampak, termasuk dari aspek ekonomi dan politik.

“Dalam aspek ekonomi, jelas bahwa ketergantungan pada AS akan semakin berisiko, terutama jika kebijakan proteksionisme semakin ketat, maka hal itu akan menyulitkan akses produk Indonesia ke pasar AS,” terangnya.

Sementara itu, dalam aspek politik, khususnya terkait proyeksi politik luar negeri, adanya Dirty 15 bisa jadi akan membuat Indonesia untuk lebih mendekat ke deretan mitra alternatifnya. Beberapa negara yang dapat mempererat jalinan kerja sama ekonomi dengan Indonesia adalah Tiongkok, Uni Eropa, Timur Tengah, atau negara-negara Global South lainnya.

Akan tetapi, Adim menjelaskan jika terdapat konsekuensi negosiasi dagang bilateral dengan Amerika Serikat yang disebutnya akan semakin sulit. Hal ini dikarenakan Indonesia harus terus berusaha menegosiasikan posisinya agar tetap mendapatkan akses ke pasar Amerika Serikat tanpa harus tunduk pada kebijakan yang tidak menguntungkan.

Indonesia Harus Apa?

Selain melakukan kebijakan diplomatik, Adim menyarankan beberapa langkah penting yang dapat diambil Indonesia, salah satunya adalah memperluas pasar ekspor ke negara lain, utamanya ke Tiongkok, Uni Eropa, dan negara-negara berkembang yang memiliki potensi perdagangan besar.

Ini perlu dilakukan agar Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Indonesia juga bisa melakukan hilirisasi di berbagai sektor industri strategis, seperti nikel dan produk pertambangan lainnya.

Hilirisasi penting dilakukan agar ekspor tidak hanya bergantung pada bahan mentah yang sering menjadi sorotan Amerika Serikat. Terakhir, Adim menyebut jika Indonesia perlu memastikan kepatuhan terhadap aturan WTO.

“Pemerintah Indonesia perlu memastikan kepatuhan terhadap aturan WTO dan regulasi internasional lainnya agar tidak mudah menjadi target kebijakan proteksionis AS,” tutupnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firda Aulia Rachmasari lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firda Aulia Rachmasari.

FA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.