Rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Salah satu poin kontroversial adalah wacana perluasan peran TNI dalam ranah sipil, termasuk pengisian jabatan-jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara.
Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran terkait prinsip demokrasi dan tata kelola negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang mencakup perluasan peran TNI dalam ranah sipil dapat menimbulkan berbagai akibat, baik positif maupun negatif.
Efek Positif
- Peningkatan Stabilitas dan Keamanan: Kehadiran TNI dalam jabatan sipil bisa memperkuat stabilitas nasional, terutama di sektor yang berkaitan dengan pertahanan dan ketahanan negara.
- Efisiensi dalam Penanganan Krisis: Dengan latar belakang disiplin dan kemampuan tanggap darurat, perwira TNI dapat membantu dalam situasi krisis seperti bencana alam atau ancaman nasional lainnya.
- Peningkatan Sinergi antara Militer dan Pemerintahan: Integrasi TNI dalam pemerintahan bisa mempercepat koordinasi dalam kebijakan strategis yang membutuhkan pendekatan militer.
Akibat Negatif
- Pelanggaran Prinsip Demokrasi: Perluasan peran TNI dalam ranah sipil dapat bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi, di mana pengelolaan negara seharusnya berada di tangan pemerintahan yang dipilih rakyat.
- Potensi Militerisasi Pemerintahan: Jika banyak jabatan sipil diisi oleh militer aktif atau purnawirawan, ada risiko meningkatnya pendekatan militeristik dalam kebijakan publik, yang bisa mengurangi transparansi dan akuntabilitas.
- Ketimpangan dalam Rekrutmen Jabatan Sipil: Masyarakat sipil yang seharusnya mendapatkan kesempatan dalam jabatan strategis bisa tersingkirkan jika posisi tersebut lebih banyak diberikan kepada perwira TNI.
Perdebatan ini mencerminkan tarik-menarik antara kepentingan stabilitas negara dan prinsip demokrasi yang perlu dikaji lebih dalam sebelum revisi UU TNI disahkan.
Pakar Hukum UMY Himbau Lakukan Judicial Review untuk RUU TNI, Apa Artinya?
Potensi Kembalinya Dwifungsi TNI dalam Bingkai Demokrasi
Salah satu aspek fundamental dari reformasi 1998 adalah pemisahan peran TNI dari ranah politik dan pemerintahan sipil.
Melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000, TNI tidak lagi memiliki peran sosial-politik seperti di era Orde Baru, yang dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI.
Revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil berpotensi menghidupkan kembali dominasi militer dalam pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi dan nilai demokrasi dalam Pancasila.
Dalam Pancasila, prinsip demokrasi tercermin dalam sila keempat: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Peran sipil dalam tata kelola negara harus tetap didominasi oleh warga negara sipil, bukan militer.
Keterlibatan TNI dalam pemerintahan sipil tanpa mekanisme yang ketat berisiko mengurangi ruang demokrasi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan.
Revisi UU TNI yang membuka peluang bagi prajurit aktif menduduki jabatan sipil dapat berdampak signifikan pada lingkungan masyarakat.
Pertama, potensi meningkatnya peran militer dalam pemerintahan dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan mereduksi peran sipil dalam pengambilan kebijakan.
Kedua, hal ini dapat melemahkan kontrol demokratis terhadap aparatur negara, sehingga menghambat partisipasi publik dalam tata kelola pemerintahan.
Ketiga, potensi pendekatan keamanan dalam menyikapi persoalan sosial dapat mengancam kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Akibatnya, masyarakat bisa mengalami pembatasan dalam berekspresi dan berorganisasi, yang berlawanan dengan prinsip demokrasi dalam Pancasila.
Dampak terhadap Supremasi Sipil dan Birokrasi
Salah satu aspek krusial dalam tata kelola negara berdasarkan Pancasila adalah supremasi sipil (civil supremacy), yang memastikan bahwa kebijakan publik dikendalikan oleh otoritas sipil, bukan oleh institusi bersenjata.
Antara Kedaulatan dan Kebebasan, Menyikapi Revisi UU TNI dalam Konteks Pancasila
Ketika revisi UU TNI membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga negara, maka prinsip ini bisa tergerus.
Selain itu, sila kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," menuntut kesetaraan dalam akses terhadap jabatan dan kekuasaan. Jika revisi ini diterapkan tanpa batasan yang jelas, akan terjadi ketimpangan dalam kesempatan bagi warga sipil untuk mengisi posisi strategis di pemerintahan.
Dominasi militer di jabatan sipil dapat menciptakan ketidakadilan dalam sistem birokrasi dan mempersempit peluang bagi profesional nonmiliter.
Resiko terhadap Kebebasan Sipil dan Hak Asasi
Peningkatan peran TNI di ranah sipil juga bisa berdampak pada kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dalam sejarahnya, negara dengan keterlibatan militer yang tinggi dalam pemerintahan cenderung mengalami penurunan kebebasan berekspresi dan represivitas terhadap kelompok-kelompok kritis.
Hal ini bertentangan dengan sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab," yang menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer berperan dalam menjaga pertahanan negara, sementara urusan pemerintahan dan hukum berada di tangan sipil.
Jika batas antara keduanya mulai kabur, ada risiko peningkatan tindakan represif terhadap oposisi dan masyarakat sipil yang berbeda pandangan dengan pemerintah.
Jaga Demokrasi dan Tata Kelola Negara yang Berlandaskan Pancasila
Revisi UU TNI perlu dikaji secara kritis agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai Pancasila.
Pemerintah harus memastikan bahwa peran TNI tetap berada dalam koridor pertahanan negara tanpa intervensi berlebihan dalam ranah sipil.
Menjaga Supremasi Sipil dan Demokrasi di Tengah Revisi UU TNI
Jika revisi ini tetap dilakukan, maka perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menghindari kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan.
Nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman utama dalam menjaga keseimbangan antara supremasi sipil, demokrasi, dan profesionalisme militer dalam tata kelola negara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News