mengulik sejarah mulo sekolah umum zaman belanda yang setara dengan smp - News | Good News From Indonesia 2025

Mengulik Sejarah MULO, Sekolah Umum Zaman Belanda yang Setara dengan SMP

Mengulik Sejarah MULO, Sekolah Umum Zaman Belanda yang Setara dengan SMP
images info

Pada masa Hindia Belanda, pendidikan menjadi salah satu wujud Politik Etis yang digagas oleh Pemerintah Kolonial sebagai balasan atas eksploitasi sumber daya di tanah Hindia Belanda (Indonesia).

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah untuk kalangan menengah ke atas dan masyarakat umum, salah satunya MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). 

Apabila diterjemahkan, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs memiliki arti “Pendidikan Dasar yang Lebih Mendalam”. Di bawah sistem pendidikan Belanda, Sekolah MULO adalah salah satu tingkat pendidikan menengah yang mengikuti Sekolah Dasar (Lager Onderwijs) dan sebelum Sekolah Menengah Atas (Hogere Burgerschool atau HBS).

Sekolah ini berperan sebagai jenjang pendidikan menengah pertama yang setara dengan SMP di masa sekarang. 

Selain MULO, Belanda juga mendirikan sekolah tinggi seperti STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) untuk mencetak tenaga medis pribumi. MULO menjadi salah satu institusi pendidikan yang cukup berpengaruh dalam melahirkan golongan terpelajar Indonesia.

Tujuan Pendirian 

MULO didirikan sebagai jembatan bagi siswa lulusan ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar berbahasa Belanda untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, seperti HBS (Hogere Burgerschool) atau sekolah kejuruan. Lulusannya diarahkan menjadi pegawai pemerintah, guru, atau tenaga administratif kolonial.

Pertama kali dibangun di Bandung pada 1919, MULO Gubernemen (milik pemerintah) menempati lahan seluas 13.800 m². Arsitekturnya mengikuti standar Eropa, dengan fasilitas seperti laboratorium dan perpustakaan.

Pada 1930-an, MULO telah menyebar ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, dan Bogor. Menurut catatan Arsip Nasional Indonesia, hingga 1940, terdapat 85 sekolah MULO di Hindia Belanda, dengan jumlah siswa mencapai 12.000 orang.

Sistem Pendidikan

MULO memiliki masa studi 3 tahun untuk lulusan ELS dan 4 tahun bagi siswa non-ELS melalui voorklas (kelas persiapan). Bahasa pengantar yang digunakan adalah Belanda, meski siswa juga mempelajari bahasa Melayu, Jawa, dan Arab.

Menurut Nasution dalam Sejarah Pendidikan Indonesia (1987), hal ini menciptakan dualitas identitas: menguasai budaya Barat sekaligus akrab dengan lokalitas.

Gedung MULO Bandung
info gambar

Kurikulum MULO mencakup bidang sains dan humaniora, seperti:

  • Matematika (Aljabar, Geometri)
  • Ilmu Alam
  • Sejarah Dunia & Hindia Belanda
  • Bahasa (Belanda, Melayu, Arab, Daerah)
  • Geografi dan Menggambar

Siswa MULO berasal dari beragam latar belakang: Eropa, pribumi, dan Timur Asing (Tionghoa, Arab).

Menurut Suratmanl dalam Politik Pendidikan Belanda dan Masyarakat Djawa Pada Akhir Abad 19 (1970), kuota siswa pribumi dibatasi hanya 10% per kelas untuk menjaga dominasi elite kolonial.

Jenjang Pendidikan

MULO setara dengan SMP modern, dengan usia siswa 12-15 tahun. Sebelumnya, siswa telah menempuh sekolah dasar seperti ELS mulai dari umur 6 atau 7 tahun.

Siswa mengikuti ujian akhir untuk memperoleh Diploma A (sastra-sejarah) atau Diploma B (sains). Setelah menyelesaikan ujian akhir dari MULO, siswa dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan HBS (Hogere Burgerschool).

Bagi komunitas Tionghoa, alternatifnya adalah HCS (Hollands Chineesche School), sementara kalangan pribumi mulai mendirikan sekolah nasional seperti Taman Siswa (1922) sebagai bentuk resistensi terhadap sistem kolonial. Pada jalur pendidikan Islam ada pendidikan yang diselenggrakan oleh Muhammadiyah, Pondok Pesantren, dan lain sebagainya.

Dampak Sosial dan Warisan 

MULO melahirkan golongan intelektual yang keluar menjadi tokoh pergerakan, seperti Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Meski dibentuk untuk kepentingan kolonial, sekolah ini justru memicu kesadaran kebangsaan.

Seperti diungkapkan Mrazek (2006), lingkungan multikultural di MULO menjadi tempat diskusi ide-ide pembebasan.

Setelah kemerdekaan, MULO diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional dan diubah menjadi SMP pada 1950. Bangunan-bangunan MULO, seperti yang ada di Bandung dan Kediri, masih berdiri sebagai cagar budaya.

Kweekschool, Sekolah bagi Para Guru di Masa Kolonial Belanda

MULO bukan sekadar produk kolonial, tetapi juga bagian dari sejarah panjang pendidikan Indonesia. Sekolah ini menjadi bukti bahwa akses pengetahuan mampu melahirkan generasi yang kritis dan berdaya, meski awalnya dimanfaatkan untuk kepentingan penjajah.

Warisan MULO mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah pintu menuju kemajuan, sekaligus alat untuk mempertahankan identitas bangsa. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.