Kawan GNFI, kasoami adalah hidangan legendaris yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Dalam sebutannya, masyarakat Buton dan Muna merujuk pada makanan ini sebagai Kasuami, sedangkan di Wakatobi, mereka menyebutnya soami.
Kasuami di Sulawesi Tenggara memiliki bentuk yang mirip dengan tumpeng, namun warnanya putih dengan nuansa kekuningan. Terdapat juga kasoami yang berwarna abu-abu, yang oleh masyarakat Tomia disebut Suami Hugu-Hugu, serta kasoami pepe yang memiliki bentuk lonjong dan padat.
Menurut orang Buton, untuk memasak kasoami, diperlukan tungku kayu bakar karena cara ini memberikan cita rasa unik pada hidangan legendaris ini, menjadikannya lebih nikmat dan teksturnya lebih lembut.
Karena tantangan di pulau yang membuat pertumbuhan padi sulit, maka kasoami menjadi alternatif bagi masyarakat setempat untuk menggantikan nasi atau untuk dijual di pasar malam. Umumnya, kasoami disajikan bersama ikan, sehingga bisa memenuhi kekurangan protein dan lemak.
Tahukah Kawan GNFI, bahwa kasoami sebenarnya berasal dari singkong? Proses pembuatannya masih cukup tradisional dan sederhana. Singkong dikupas terlebih dahulu, diparut hingga halus, kemudian dimasukkan ke dalam karung yang diikat hingga membentuk bulatan, lalu ditindis menggunakan papan dengan beban batu selama beberapa jam hingga parutannya kering. Setelah itu, parutan dimasukkan ke dalam cetakan daun kelapa berbentuk kerucut dan dikukus selama beberapa menit hingga siap disajikan.
Di Sulawesi Tenggara, singkong merupakan tanaman yang sangat bermanfaat karena bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan yang autentik. Masyarakat setempat mengonsumsi kasoami ini sebagai makanan sehari-hari, dan salah satu kelebihannya adalah kasoami tidak mudah basi, sehingga cocok sebagai bekal bagi nelayan di sana.
“Kasoami ini adalah makanan yang dikonsumsi oleh orang tua kami saat melaut, karena bisa bertahan lama. Membuat kasoami sama dengan mengobati kerinduan pada tanah air,” ungkap Lanaamu, seorang warga keturunan Buton, mengutip dari Mongabay.
Keawetan makanan kasoami adalah sekitar 14 hingga 20 hari, tetapi jika singkong parut yang digunakan belum dikukus, maka bisa bertahan lebih lama, hingga sekitar 30 hari.
Sejarah Kasoami
Bagi masyarakat di Sulawesi Tenggara, Kasoami melambangkan kedekatan dan persahabatan. Oleh karena itu, Kasoami sering dihidangkan pada acara-acara besar seperti perayaan atau saat menyambut keluarga yang pulang ke kampung halaman.
Kasoami dikenal di wilayah Sulawesi Tenggara sebagai sajian tradisional dari nenek moyang suku Wakatobi yang akhirnya menyebar ke Pulau Buton. Karena daya tahan makanan ini, para pelaut di masa lalu dapat membawa Kasoami hingga ke Singapura, pesisir Malaysia, dan Filipina sebagai makanan yang dapat dimakan dalam perjalanan.
Baca juga: Ini Dia Makanan yang Wajib Dicoba di Wakatobi
Varian Kasoami
Menurut segi bentuk dan warnanya, Kasoami terdiri dari beberapa varian populer dari kasoami yakni ada yang berbentuk kerucut seperti tumpeng dengan warna putih kekuning-kuningan dan ada pula yang berwarna hitam atau disebut hugu-hugu.
Proses pembuatannya juga berbeda. Untuk Kasoami hugu-hugu, proses dimulai dengan memilih singkong berkualitas yang direndam dalam air laut selama tiga hari, lalu dijemur hingga kering dan berwarna gelap. Sementara itu, untuk Kasoami dengan warna putih kekuningan, dibuat dari singkong segar yang langsung diolah menjadi soami atau ubi kayu, dikukus dengan uap panas hingga siap untuk disajikan.
Baca juga: Mengenal Kasoami, Pangan Masyarakat Buton, Sudah Mencoba?
Di Wakatobi, salah satu varian Kasoami yang paling terkenal adalah soami pepe, yang biasanya banyak dijual di pasar tradisional. Bentuknya menyerupai bolu gulung dan proses pembuatannya berbeda dari jenis Kasoami lainnya. Perbedaannya terletak pada tahap awal, di mana tepung dari parutan singkong dicampur dengan minyak kelapa dan sedikit garam sebelum dikukus, kemudian dipipihkan melalui cara dipukul-pukul, yang dalam istilah Wakatobi disebut pepe.
Soami pepe ini sering disajikan dengan taburan bawang goreng sebagai penambah rasa atau dimakan dengan abon ampas kelapa kering bersama dengan teh dan kopi.
Jadi, Kawan GNFI, apabila Kawan mengunjungi Sulawesi Tenggara, jangan lewatkan kesempatan untuk mencicipi hidangan legendaris ini yang merupakan makanan khas dengan kekayaan sejarahnya.
Kawan GNFI tertarik untuk mencobanya?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News