franchise jajanan viral dan bisnis mitra dampaknya bagi umkm kuliner lokal - News | Good News From Indonesia 2025

Franchise Jajanan Viral dan Bisnis Mitra, Dampaknya bagi UMKM Kuliner Lokal?

Franchise Jajanan Viral dan Bisnis Mitra, Dampaknya bagi UMKM Kuliner Lokal?
images info

Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis franchise kuliner semakin bermunculan. Metode ini banyak diminati calon pengusaha karena menawarkan kemudahan menjadi mitra, harga modal yang bersaing sampai jaminan dagangan akan di viralkan.

Popularitas tren ini tak lepas dari peran influencer dan publik figur yang saat ini banyak menekuni dunia bisnis kuliner, sehingga mendominasi pasar. Namun apakah skema ini menguntungkan semua pihak?

Istilah Franchise atau waralaba mungkin sudah tidak asing di kalangan pembaca. Bagi yang awam, menurut KBBI waralaba merupakan kerja sama hak kelola atau pemasaran dalam bidang usaha dengan bagi hasil.

Perbedaannya dari bisnis UMKM terletak pada strategi bisnis, pemasaran, manajemendan produk yang “siap jual” diperuntukkan bagi calon pengusaha. Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba juga mewajibkan pemberi waralaba untuk memberi bantuan operasional dan pelatihan ke mitra.

Tertera di buku catatan “Laporan Pola Pembiayaan Usaha Kecil: Usaha Franchise” keluaran Bank Indonesia, masuknya KFC, Burger King dan Swensen pada 70-an menunjukan awal perkembangan franchise asing di Indonesia.

Puncaknya di era 90-an, ketika waralaba lokal dan asing mulai meroket dari sekitar 35 unit menjadi 450 unit kurang dalam kurun 6 tahun, dengan sektor kuliner menjadi jumlah terbanyak.

Isy Karim selaku Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan menyebut bisnis waralaba kuliner merupakan sektor terbesar di Indonesia pada 2024. Angka nya mencapai 47,92%. Menyusul dibawahnya bisnis retail 15,28%; jasa bimbingan pendidikan non formal 10,42%; sektor kesehatan & kecantikan sebanyak 10,42%; bisnis laundry 6,25% dan sektor lain, seperti biro perjalanan, otomotif dsb.

Dalam industri kuliner di era modern, popularitas tersebut memiliki peran penting dalam menentukan perkembangan usaha. Orang biasanya lebih tertarik membeli produk yang sedang viral karena FOMO atau ingin mencoba hal baru.

Manajemen pemasaran dan jaringan masif franchise mendorong UMKM lokal untuk bersaing mengembangkan layanan, pemasaran dan inovasi produk. Namun, hal ini berpotensi menjadi persaingan tidak seimbang bagi UMKM dan rentan mengikis kelestarian kuliner tradisional.

Dampak Dominasi Franchise Bagi UMKM Lokal

Tak jarang keberadaan franchise besar di pasaran membuat UMKM rumahan harus berjuang menarik pembeli, khususnya dalam perbedaan harga dan pemasaran.

Bukan tanpa alasan, model waralaba “viral” memungkinkan ekpansi bisnis lebih cepat dengan modal rendah, terutama jika bisnis punya permintaan tinggi dan mudah diduplikasi produknya, seperti KebabBaba Rafi, Teh Poci, Bebek Carok, dan Es Teh Indonesia yang telah memiliki standar operasional jelas dan memiliki daya tarik merek kuat. Tak heran jika banyak orang tertarik untuk buka cabang.

Berbagai potensi dan keuntungan bisnis franchise membuatnya banyak digemari, sehingga memperbanyak persaingan, namun apakah semua UMKM lokal pada akhirnya akan lebih baik menjadi waralaba?

Tentu kembali pada model usaha dan kesiapan pemiliknya, terutama dalam menjaga standar kualitas operasional cabang. Ada juga pertimbangan biaya awal, stok produk dan royalti yang harus dibayar secara berkelanjutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan terkait dampak waralaba minimarket terhadap warung tradisional di daerah Kalimantan Selatan menunjukan, terdapat penurunan omzet warung rumahan sebanyak 40% pada tahun 2021. Berdasarkan data, toko yang paling terdampak adalah toko kosmestik sebanyak 80%, diikuti toko sembako dan makanan ringan, kisaran 35-38%.

Dampak ini diperparah dengan masifnya franchise asing seperti McDonald’s, Starbucks Yoshinoya dan Lawson yangmenimbulkan perubahan selera masyarakat dan kesenjangan, khususnya di daerah tertinggal.

Alasannya karena ketersediaan produk, inovasi menarik, perbedaan harga dan lokasi strategis waralaba itu sendiri. Kondisi ini jadi alasan kenapa pemerintah membuat evaluasi regulasi yang khusus mengatur keberadaan waralaba di berbagai daerah.

Di sisi lain, ada pula UMKM lokal yang tidak terdampak dominasi waralaba “viral” mereka biasanya menjual produk yang jarang tersedia di toko waralaba dan telah berbisnis dalam waktu lama. Selain itu adanya rasa kepuasan dan kekeluargaan dengan pembeli juga jadi keunggulan yang biasanya tidak ditemukan di franchise asing di Indonesia.

Untuk menjaga kelestarian kuliner tradisional dan UMKM lokal, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, pelaku franchise, dan UMKM itu sendiri. Beberapa hal kecil menarik bisa dilakukan, diantaranya membeli produk lokal langsung dari produsen, hanya membeli produk lokal, mengikuti komunitas bisnis lokal serta mempromosikan usaha UMKM melalui konten kreatif.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.