Desa Cireundeu terletak di Kecamatan Cimahi Selatan, lebih tepatnya di Kelurahan Leuwi Gajah. Warga Desa Cireundeu terdiri dari 60 kepala keluarga, atau 800 jiwa. Mata pencaharian di desa ini adalah bertani ketela.
Desa Cireundeu merupakan salah satu desa yang kental dengan nilai-nilai tradisional. Masyarakat di desa ini memegang teguh ajaran Sunda Wiwitan (Sunda asli) sebagai pedoman hidupnya.
Keunikan Kampung Adat Cireundeu yang Memegang Teguh Sunda Wiwitan
Masyarakat adat Cireundeu juga sangat peduli akan kelestarian budaya dan adat istiadat yang ditelurkan oleh nenek moyang mereka.
Mereka memegang prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” yang berarti mereka memiliki cara autentik untuk merawat kebudayaannya, tanpa terganggu oleh perkembangan zaman, bahkan masyarakat adat Cireundeu mampu memanfaatkan perkembangan zaman, seperti teknologi, televisi, hingga penerangan.
Keunikan Desa Cireundeu
Cireundeu berasal dari nama pohon rendeu, yaitu pohon untuk obat herbal.
Kearifan budaya yang masih terjaga menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung.
Secara adat, warga Desa Cireundeu selalu menganut nilai-nilai yang diwariskan dari nenek moyang mereka.
Hasil dari penerapan nilai-nilai budaya leluhur di desa ini adalah konsep penggunaan lahan. Masyarakat desa di sini masih memelihara kepercayaan bahwa ada tiga Leuweng (Hutan) yang perlu diperhatikan, yaitu :
- Leuweng Larangan (Hutan Larangan)
Hutan ini adalah kawasan khusus yang sangat dijaga oleh masyarakat setempat. Pohon di sini tidak boleh ditebang sembarangan, sebab berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat di desa, seperti penghasil oksigen dan tempat menyimpan air.
2. Leuweng Tutupan (Hutan Reboisasi)
Hutan ini adalah kawasan yang digunakan untuk reboisasi. Masyarakat diperbolehkan memanfaatkan hutan ini, tetapi mereka tetap harus menanam pohon baru dalam hutan yang memiliki luas sekitar dua hingga tiga hektare.
3. Leuweng Baladahan (Hutan Pertanian)
Hutan yang berfungsi untuk menghidupi mata pencaharian masyarakat Desa Cireundeu. Hutan ini biasanya ditanami jagung, kacang tanah, singkong, ketela, hingga umbi-umbian.
Filosofi Masyarakat Cireundeu
Masyarakat di desa ini memiliki filosofi “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”.
Mengenal Kampung Adat Cireundeu, Kampung Tahan Pangan Berkat Pantang Makan Nasi
Dalam bahasa Indonesia, kalimat itu diterjemahkan menjadi “Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat."
Filosofi ini merupakan bentuk kemandirian pangan dari masyarakat desa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Cireundeu tidak ingin ketergantungan kepada satu makanan pokok. Mereka percaya, bahwa apapun yang bisa ditanam di tanah merupakan makanan pokok yang perlu disyukuri.
Selain dengan alasan kemandirian pangan, filosofi tersebut dilatarbelakangi oleh sejarah Desa Cireundeu yang sempat dilanda kekeringan sawah pada tahun 1918, yang mendorong masyarakat desa mencari alternatif makanan pokok yang lain. Para leluhur kala itu juga menyarankan warga, supaya menanam ketela sebagai ganti dari nasi.
Potensi Desa Cireundeu
Kampung Adat Cireundeu memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi daerah wisata, khususnya desa yang memiliki konsep ekowisata. Ekowisata merupakan kegiatan pariwisata yang memadukan antara kegiatan wisata dengan edukasi konservasi lingkungan.
Hal tersebut terbukti dari 64 ha luas wilayahnya, 60 ha diantaranya terdiri dari hutan yang digunakan sebagai lahan pertanian dengan kontur tanah berupa bukit dan memiliki daya tarik ekowisata pendakian yaitu Puncak Salam dan bumi perkemahan yang baru diresmikan yang terletak tidak jauh dari Puncak Salam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News