jejak warisan arsitektur kesultanan pontianak - News | Good News From Indonesia 2025

Jejak Warisan Arsitektur Kesultanan Islam di Kota Pontianak

Jejak Warisan Arsitektur Kesultanan Islam di Kota Pontianak
images info

Kawan GNFI pastinya terbiasa mendengar julukan Kota Pontianak sebagai Kota Khatuliswa. Ternyata selain terkenal dengan julukan itu, Kota Pontianak juga memiliki sejarah yang penting sebagai salah satu Kerajaan Melayu Islam yang berpengaruh di Indonesia.

Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah nama resmi dari Kerajaan Melayu Islam yang berdiri pada tahun 1771 di Pontianak.

Kesultanan Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang merupakan putra dari Habib Husein, seorang ulama keturunan Arab dari Kerajaan Mempawah (salah satu Kerajaan Islam di daerah Kalimantan Barat).

Setelah Habib Husein wafat pada tahun 1771, putranya memutuskan mencari wilayah baru untuk kerajaan mereka, dan mendapatkan lokasi di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas Kecil, Sungai Kapuas Besar, dan Sungai Landak, yang kini merupakan wilayah Kota Pontianak.

Pendirian Kesultanan Pontianak ditandai dengan membuka hutan di lokasi muara ketiga sungai tersebut, untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan pendirian Masjid Jami Pontianak dan Istana Kadariyah.

Kesultanan Pontianak ini memiliki beberapa keunikan yang akan kita bahas secara singkat. Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Indonesia, dengan pendirinya yang berasal dari campuran dinasti Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak.

Kesultanan ini memiliki kerja sama yang erat dengan pemerintah Belanda, dan sangat menyokong kemajuan bidang pendidikan dan kesehatan, serta mendorong masuknya modal swasta dari Eropa dan Cina untuk pengembangan industri dan perkebunan di Pontianak.

Baca juga: Pontianak, Kota dengan Beragam Ciri Khas

Sultan kedelapan dari Kesultanan Pontianak, yaitu Sultan Hamid II merupakan salah satu tokoh sejarah perjuangan Indonesia yang berperan penting pada Konfrensi Meja Bundar (KMB), dan merupakan perancang lambang negara Republik Indonesia.

Seperti disebutkan di awal, bahwa bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianak, dibangunlah Masjid Jami Pontianak dan Istana Kadariyah sebagai simbol pusat pemerintahan.

Bangunan ini merupakan bentuk warisan arsitektur dari Kesultanan Pontianak yang masih dapat dilihat dan dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung ke Kota Pontianak. Berikut ini kita akan membahas peninggalan budaya berupa arsitektur bangunan dari masa Kesultanan Pontianak.

Masjid Jami Pontianak

Masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, yang merupakan masjid tertua dan terbesar di Kota Pontianak. Masjid Jami Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jamaah salat.

Secara geografis, pada sisi kiri masjid terdapat pasar ikan tradisional, di belakang masjid terdapat pemukiman penduduk Kampung Beting, dan di depan masjid terbentang Sungai Kapuas.

Pada awal berdirinya, masjid ini hanya berupa bangunan sederhana dengan atap rumbia. Setelah melakukan beberapa kali penyempurnaan, bangunan masjid manjadi megah dengan arsitektur yang unik, perpaduan arsitektur Jawa, Timur Tengah, Melayu, dan Eropa.

Atap masjid yang berbentuk seperti tajug dan bertingkat empat merupakan perwujudan arsitektur Jawa, sedangkan pada bagian mahkota atau genta terlihat pengaruh arsitektur Eropa. Masjid ini memiliki mimbar tempat khotbah yang mirip geladak kapal, yang memberikan nuansa arsitektur Timur Tengah. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon.

Baca juga: Masjid Raya Mujahidin Pontianak dan Hal-Hal Menarik Tentangnya

Masjid ini memiliki struktur bangunan khas Melayu karena berbentuk rumah panggung. Sekitar 90 persen dari konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Terdapat enam pilar kayu belian berdiameter setengah meter di dalam masjid.

Selain pilar bundar, juga terdapat enam tiang penyangga lainnya yang menjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar.

Istana Kadariyah

Istana Kadariyah atau disebut juga Keraton Kadariyah, mulai dibangun pada tahun 1771 dan selesai pada tahun 1778, beberapa waktu sebelum penobatan Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai Sultan Pontianak yang pertama.

Kawan GNFI dapat mengunjungi istana ini yang berlokasi di Kampung Beting, Kelurahan Bugis Dalam, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.

Seperti umumnya istana Kerajaan Melayu lainnya, istana ini juga didominasi dengan warna kuning. Struktur bangunan istana terbuat dari kayu pilihan. Sebuah ruangan seperti mimbar yang menjorok kedepan, dulunya digunakan Sultan sebagai tempat peristirahatan dan untuk menikmati keindahan pemandangan Sungai di depan istana.

Pada bagian depan, tengah, dan kiri depan istana ini, Kawan GNFI dapat melihat 13 meriam kuno buatan Portugis dan Prancis. Selain itu pada aula utama terdapat “Kaca Seribu”, sebuah cermin antik dari Prancis.

Di dalam istana ini masih tersimpan koleksi benda bersejarah yang cukup lengkap, seperti beragam perhiasan yang digunakan secara turun temurun, benda pusaka dan artefak, barang pecah belah, foto keluarga sultan dan arca-arca.

Pengunjung juga dapat melihat beberapa ruangan pribadi milik keluarga kesultanan.

Makam Batu Layang

Makam Batu Layang merupakan kompleks pemakaman khusus untuk Sultan dan keturunannya, yang berlokasi di tepian Sungai Kapuas. Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah yang pertama kali dimakamkan di sini ketika beliau wafat pada tahun 1808. Setiap sultan dan keturunannya dimakamkan dalam kelompok sendiri-sendiri.

Makam Sultan Syarif Abdurrahman terbuat dari kayu belian bertingkat dua, dengan ukiran motif tumbuhan bersulur, dan ditutupi kelambu berwarna terang. Sedangkan makam Sultan Syarif Kasim yang wafat tahun 1819 berpagar kayu dan berkelambu kuning. Di sekitaran makam Sultan tersebut, terdapat makam dari istri dan anak keturunannya.

Semua upacara pemakaman para Sultan Pontianak dilakukan dengan upacara kebesaran oleh rakyat Pontianak, ditandai arak-arakan perahu lancang kuning melalui Sungai Kapuas. Prosesi pemakaman Sultan Pontianak yang terakhir dilakukan adalah saat pemakaman Sultan Hamid II yang wafat tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Batu Layang

Kompleks pemakaman ini bernuansa warna kuning seperti halnya Istana Kadariyah. Satu hal yang unik dari pemakaman ini adalah nisan berwarna emas dengan tulisan Arab, yang menunjukkan perpaduan antara Agama Islam dan tradisi Melayu di Kesultanan Pontianak.

Nisan dari makam para Sultan berbentuk gada yang menunjukkan bahwa itu adalah makam seorang lelaki, sedangkan nisan untuk keluarga perempuan berbentuk pipih.

Masjid Jami Pontianak, Istana Kadariyah, danMakam Batu Layang, lokasinya berada dalam satu area letak garis lurus dari arah timur ke barat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NN
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.