Pernahkah kamu membayangkan berjalan di bawah keramaian pasar, lalu tiba-tiba memasuki lorong waktu yang menyimpan kisah para wali, pertapaan sakral, dan jejak sejarah 20 juta tahun? Goa Akbar Tuban bukan sekadar destinasi wisata, ia adalah saksi bisu perjuangan, spiritualitas, dan keajaiban alam yang nyaris terlupakan.
Di sini, di bawah Pasar Baru Tuban, Jawa Timur, kamu akan menemukan lebih dari sekadar stalaktit atau stalagmit. Ini adalah perjalanan menyentuh hati, di mana setiap langkah mengingatkan kita pada warisan yang harus dijaga.
Goa Akbar: Di Mana Legenda dan Realita Berpadu
Goa ini unik. Letaknya bukan di hutan atau pegunungan, tapi di tengah kota, tepat di bawah Pasar Baru Tuban. Sejak tahun 1995, Goa Akbar dibersihkan dari sampah dan kotoran yang menumpuk selama puluhan tahun. Bayangkan: dulu, tempat ini dianggap angker, tertutup semak berduri dan pohon abar (sejenis beringin), hingga dijuluki Lueng Ombo—keraton para jin.
Tapi kini, lorong sepanjang 1,2 km ini justru memancarkan pesona magis. Stalaktit dan stalagmit berusia 20 juta tahun menyambut pengunjung, diterangi lampu warna-warni yang menciptakan nuansa surga bawah tanah. Di sela-sela batuan, fosil kerang laut purba masih menempel di dinding, bukti bahwa Tuban dulunya adalah dasar lautan.
Jejak Sunan Kalijaga dan Para Wali: Dari Lokasi Bertapa Sampai Paseban Agung
Goa Akbar bukan sekadar objek alam. Ia adalah living museum sejarah Islam Jawa. Konon, Raden Mas Said (Sunan Kalijaga) diusir ayahnya dan bersemedi di sini sebelum menjadi murid Sunan Bonang. Di ruang Paseban Wali, para Wali Songo dikisahkan berkumpul, bermusyawarah, dan menyebarkan ajaran Islam. Batu-batu besar di sana diyakini sebagai podium tempat mereka berpidato.
Ada juga Gamping Watu Nogo, batu tempat Sunan Kalijaga bertapa, dan Kedung Tirta Agung—mata air yang diyakini berkhasiat menyegarkan jiwa. “Airnya tak pernah kering, bahkan saat kemarau. Bagi warga, ini adalah anugerah,” kata seorang guide lokal.
Nama ‘Akbar’: Antara Latihan Prajurit, Ucapan Sunan Bonang, dan Mitos Lokal
Kenapa disebut Akbar? Ada tiga versi:
- Nama tanaman abar yang tumbuh di mulut goa.
- Kata “ngabar” (latihan), merujuk pada pasukan Ronggolawe yang berlatih ilmu kanuragan di sini untuk melawan Majapahit.
- Ucapan Sunan Bonang: “Allahu Akbar!” saat pertama kali masuk goa.
Baca Juga: Rumah di Desa Daerah Tuban Ini Dilarang untuk Menghadap Utara, Bisa Bawa Malapetaka
Versi mana yang benar? Mungkin semuanya. Sejarah Goa Akbar adalah mozaik yang tak pernah selesai, setiap sudut punya cerita sendiri.
Dari Tempat Sampah Jadi Destinasi Wisata: Kisah Transformasi yang Menyentuh
Tahun 1984, Goa Akbar nyaris hancur. Pembangunan Pasar Baru di atasnya membuat sampah dan limbah mengalir ke dalam goa. “Dulu, bau tak sedap menyengat. Tak ada yang mau mendekat,” kenang Budi, warga Tuban.
Tapi pada 1995, Bupati Sjoekoer Soetomo membersihkan dan mengubahnya jadi destinasi wisata. Kini, jalan setapak berpagar kuning memudahkan pengunjung menikmati keindahan tanpa khawatir terpeleset. Bahkan, relief di dinding depan goa menceritakan sejarah Tuban secara visual, seperti komik raksasa yang mengajak kita belajar sambil berjalan.
Baca Juga: Sejarah Tuban, Menelusuri Jejak Budaya dan Perdagangan Nusantara
Antara Modernisasi dan Pelestarian
Meski sudah dikelola, fasilitas di Goa Akbar masih terbatas. Toilet sering rusak, lampu kadang mati, dan pedagang sekitar mengeluh sepi pengunjung di luar musim liburan. “Kami ingin pemerintah lebih serius. Ini warisan berharga, bukan sekadar tempat selfie,” ujar Rina, pemilik warung di dekat goa.
Tapi ada harapan. UMKM lokal mulai memanfaatkan digital untuk promosi batik gedog dan oleh-oleh khas Tuban. Generasi muda pun mulai tertarik jadi guide wisata, membagikan cerita-cerita yang hampir punah
Baca Juga: Batik Gedog Tuban, Sejarah, Motif, dan Teknik Pembuatan
Goa Akbar Tuban adalah cermin dari kita semua: pernah terluka, tapi berjuang bangkit. Setiap stalaktitnya adalah halaman buku yang menunggu dibaca. Setiap fosilnya adalah pengingat bahwa sejarah tak boleh mati.
Jadi, jika kamu ke Tuban, jangan hanya mampir ke pantai. Selamilah Goa Akbar. Rasakan dinginnya udara bawah tanah, sentuh batu tempat para wali bertapa, dan duduklah di Paseban Agung, bisikan masa lalu mungkin akan menjawab pertanyaan yang selama ini kamu cari.
“Kita bukan mewarisi bumi dari nenek moyang, tapi meminjamnya dari anak cucu.” — Pepatah Tuban
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News