Keraton Solo merupakan salah satu bagian dari sejarah penting dari Kota Solo. Bangunan yang identik dengan warna biru dan putih ini memiliki kesan tersendiri bagi setiap pengunjungnya. Di balik megahnya arsitektur bangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, atau biasa disebut Keraton Solo menyimpan berbagai fakta unik di dalamnya.
Keraton Solo berdiri pada 1745 Masehi oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II. Keputusan pendirian keraton ini dilakukan sebab kerusakan parah Keraton Kartasura akibat pemberontakan pada peristiwa geger pecinan tahun 1743. Untuk mengatasi peristiwa tersebut, kemudian dibangunlah ibukota kerajaan baru yang letaknya 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala (sekarang Solo). Dan di sinilah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat didirikan.
Arsitektur bangunan Keraton Solo yang menjadi ikon budaya Kota Solo tersebut dirancang oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertahta sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta. Hal tersebut lah yang menjadikan pola bangunan dan tata ruang Keraton Solo punya kemiripan dengan Keraton Yogyakarta.
Pembangunan Keraton Solo ini dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan pola dasar tata ruang seperti pada awalnya. Dengan bernuansakan warna biru-putih dengan gaya arsitektur campuran Jawa-Eropa, pembangunan dan restorasi besar-besaran dilakukan pada tahun 1893-1939 oleh Susuhunan Pakubuwono X. Melalui konsep pembangunan kosmologi, arsitektur bangunan ingin mencerminkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Baca Juga: Selain Keraton, Ini Destinasi Wisata Menarik di Surakarta
Secara umum, kawasan Keraton Solo dibagi menjadi beberapa bagian yang meliputi, Kompleks Alun-Alun Lor/Utara, Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedhaton (Kadhaton), Kompleks Kamagangan dan Sri Manganti Kidul/Selatan, Kompleks Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-Alun Kidul/Selatan.
Dari sekian banyak bagian dari kompleks kawasan Keraton Solo, yang paling ikonik adalah bangunan utamanya, yaitu Sasana Sumewa. Tempat ini digunakan untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di dalam bangunan ini terdapat beberapa meriam, yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
Sasana Sumewa difungsikan sebagai tempat untuk melantik Pepatih Dalem dan tempat menghadapnya para pejabat tinggi. Kegiatan ini biasa dilakukan saat hari-hari keagamaan, upacara grebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, ulang tahun Sri Sunan, dan acara-acara penting lainnya.
Bangunan lain yang ikonik ketika mengunjungi Keraton Solo adalah sebuah menara bersegi delapan berwarna biru-putih. Bangunan ini berada di dalam kompleks yang biasa disebut Kompleks Sri Manganti Lor/Utara. Nama dari kompleks tersebut diambil dari kata sri berarti raja dan mangantii yang dapat diartikan menunggu. Jadi, kawasan ini biasa dijadikan tempat menunggu oleh para tamu yang ingin bertemu raja.
Sementara untuk menara segi delapan itu sendiri disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki panjang sekitar tiga puluhan meter ini memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengawasi para tentara Belanda yang terdapat di Benteng Vastenburg. Selain itu, menara ini dijadikan oleh raja sebagai tempat bermeditasi dan untuk tempat bertemunya raja dengan ratu laut selatan.
Baca Juga: Pesona Keraton Surakarta: Tak Hanya Klasik tapi Juga Mewah
Beberapa bangunan ikonik yang ada di Keraton Solo tersebut didominasi oleh warna biru dan putih. Lantas, apa makna dari kedua warna tersebut? Warna biru dan putih dipilih karena melambangkan ketenangan, keagungan, dan hubungan dengan alam semesta. Kedua warna tersebut lah yang kemudian menjadi ciri khas arsitektur keraton.
Meskipun hingga kini terlihat megah dan mewah, namun Keraton Solo pernah mengalami kebakaran pada tahun 1985. Kebakaran tersebut cukup besar dan menghanguskan sebagian bangunan utama. Banyak benda pusaka dan beberapa arsip penting Keraton Solo yang berusia ratusan tahun ikut terbakar dan hilang. Upaya rekonstruksi besar-besaran setelah kebakaran dilakukan, dengan tetap mempertahankan nilai arsitektur dan keaslian bangunan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News