Kawan GNFI, Indonesia ternyata memiliki berbagai sistem penulisan lokal sebagai representasi budaya, yang khususnya digunakan untuk menuliskan bahasa daerah tertentu. Terdapat banyak aksara yang sudah lama dikenal, termasuk aksara Pallawa, Kawi, Sunda, Jawa, Bali, Batak Karo, Lontara, dan masih banyak lagi lainnya.
Menurut sejarah, aksara Nusantara ini awalnya sangat dipengaruhi oleh budaya Arab dan India akibat dari proses inkulturasi yang terjadi sebelum penjajahan oleh bangsa Eropa di kawasan ini.
Namun, apakah Kawan GNFI tahu bahwa di daerah Buton, tepatnya di Kabupaten Bau Bau, Sulawesi Tenggara, terdapat keunikan tersendiri dalam penggunaan bahasa dan sistem penulisannya, yang memanfaatkan Hangeul Korea bersama dengan pola ucapan serta abjad Indonesia yang cukup menarik untuk dibahas. Apa saja keunikannya? Mari kita simak penjelasannya, ya, Kawan GNFI!
Baca juga : Satu Bahasa Daerah Hilang Setiap Dua Pekan, Ini Langkah Pemerintah untuk Mengatasinya
Bahasa Cia-Cia dan Sejarah Penggunaan Aksara Hangeul di Nusantara
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat vital dalam membentuk kehidupan di dunia karena mampu menyampaikan perasaan, ide, dan gagasan dari seseorang kepada orang lain. Dalam perkembangannya, bahasa mengalami banyak variasi dan ragam, terutama di Indonesia yang kaya akan suku bangsa yang tersebar luas.
Setiap kelompok etnis di Indonesia memiliki budaya dan bahasa daerah yang khas atau bahasa ibunya masing-masing dalam berinteraksi, salah satunya adalah bahasa Cia-Cia. Bahasa Cia-Cia merupakan sebuah bahasa Austronesia dan merupakan bahasa yang unik bagi masyarakat Buton, yang terletak di Sulawesi Tenggara.
Bahasa Cia-Cia telah lama dipakai oleh masyarakat Buton dalam kesehariannya. Pengguna bahasa ini terbagi menjadi empat subetnis, yaitu Laporo, Burangasi, Wabula, dan Lapandewa.
Secara historis, bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Jawi atau Arab Pegon, tetapi setelah terjalinnya kerjasama antara pemerintah Kabupaten Bau-bau dan pihak Korea, bahasa ini beralih ke penggunaan aksara Hangeul untuk penulisannya. Aksara Hangeul sudah lama menjadi salah satu sistem tulisan klasik dari Korea. Karena baru diimplementasikan dalam bahasa Cia-Cia, maka aksara ini dapat disebut sebagai aksara kontemporer.
Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Korea bertujuan untuk melestarikan bahasa Cia-Cia sebagai bagian dari bahasa daerah yang masih perlu digunakan. Selain itu, pemilihan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia diakui sangat sesuai dengan bunyi sistem bahasanya. Hal ini kontras dengan aksara Jawi yang jika ditulis dengan aksara gundhul, dapat mengakibatkan pergeseran makna saat diucapkan.
Dengan aksara Hangeul, semua unsur bahasa Cia-Cia dapat ditulis dan dipahami dengan akurat sesuai dengan pengucapannya. Oleh karena itu, pemakaian aksara Hangeul diharapkan dapat menjadi salah solusi dalam mengatasi kepunahan bahasa Cia-Cia untuk generasi mendatang.
Dalam tradisi sastra, Cia-Cia tidak memiliki sistem aksara tersendiri. Sejak awal, bahasa ini hanya diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Bahasa Cia-Cia juga mencerminkan keberagaman dialek yang ada di Indonesia.
Selain menggunakan Cia-Cia, masyarakat Buton memiliki bahasa dan dialek lain seperti Wolio, Kumbewaha, dan Pancana. Ini menandakan betapa kaya dan beragamnya budaya serta sejarah masyarakat di Pulau Buton.
Jadi, Kawan GNFI, penggunaan bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul Korea bukanlah sekadar penggabungan budaya masyarakat Cia-Cia dan budaya Korea. Melainkan hal ini adalah langkah untuk melestarikan bahasa Cia-Cia dengan penerapan aksara Hangeul Korea sebagai bentuk tulisan atau aksara yang sebelumnya tidak ada.
Baca juga : Eksistensi Bahasa Daerah di Tangan Generasi Muda, Manfaatkan Digitalisasi untuk Kebangkitan Budaya
Ternyata, penggunaannya juga membangkitkan nuansa yang khas dalam memperkaya keragaman budaya di Indonesia, ya, Kawan GNFI.
Bahasa ternyata memiliki peran yang sangat penting, ya, Kawan GNFI. Selain sebagai alat komunikasi dengan bahasa juga tercipta hubungan sosial hingga sebagai sarana untuk melestarikan dan mengekspresikan kekayaan budaya khususnya di Indonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News