Di Desa Sukosari, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar, berdiri sebuah monumen yang menyimpan sejarah penting tentang transformasi lingkungan. Monumen Tanah Kritis, demikian namanya, menjadi pengingat akan kondisi lahan yang dulunya gersang dan tidak produktif di kawasan ini.
Dibangun pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, monumen ini dirancang untuk mengedukasi masyarakat tentang urgensi konservasi tanah dan air.
Pada masa lalu, kawasan Jumantono dikenal sebagai daerah dengan lahan kritis. Tanah di wilayah ini memiliki kandungan aluminium (Al) dan besi (Fe) yang tinggi, menyebabkan sifat tanah menjadi asam dan tidak subur.
Kondisi tersebut membuat lahan sulit ditanami dan berdampak negatif pada kehidupan masyarakat. Untuk mengabadikan kondisi tersebut, monumen ini menyimpan tanah gersang sebagai simbol dari tantangan lingkungan yang pernah dihadapi oleh daerah tersebut.
Namun, perubahan mulai terjadi ketika pemerintah bersama masyarakat setempat menggiatkan program konservasi tanah dan air. Berbagai teknik diterapkan untuk memulihkan kesuburan tanah, seperti pembuatan teras bangku, saluran pembuangan air, serta bangunan pengendali erosi.
Monumen Soerjo Ngawi, Jejak Sejarah dan Keindahan Alam yang Memikat
Berkat usaha yang konsisten, lahan yang sebelumnya dianggap tidak produktif kini berubah menjadi area subur yang dapat ditanami berbagai jenis palawija dan buah-buahan. Hasilnya, pertanian menjadi sektor ekonomi utama bagi penduduk sekitar, meningkatkan taraf hidup mereka secara signifikan.
Sebagai pengakuan atas keberhasilan konservasi ini, pada 2 Juli 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) memberikan nama baru untuk monumen tersebut.
Kini, monumen ini dikenal sebagai Monumen Tanah Kritis Ir. Bambang Soekartiko-Ir. Dwiatmo Siswomartono, M.Sc. Penamaan ini merupakan bentuk penghormatan kepada kedua tokoh yang berjasa dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya alam di Indonesia.
Selain menjadi saksi sejarah, Monumen Tanah Kritis juga berperan sebagai pusat edukasi. Melalui keberadaan monumen ini, masyarakat diajak untuk memahami pentingnya konservasi tanah dan air, serta bagaimana tindakan kecil yang konsisten dapat berdampak besar bagi lingkungan.
Pemerintah setempat, bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Solo, berencana mengembangkan monumen ini menjadi destinasi wisata edukasi. Rencana tersebut mencakup pembangunan fasilitas penunjang seperti area parkir, tempat kuliner, dan jalur jogging yang menghubungkan monumen dengan balai persemaian BPDAS.
Harapannya, pengembangan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran lingkungan, tetapi juga memberikan dampak positif pada perekonomian masyarakat sekitar.
Keberhasilan rehabilitasi lahan di Jumantono yang diwakili oleh Monumen Tanah Kritis menjadi inspirasi bagi daerah lain yang menghadapi tantangan serupa. Transformasi dari lahan kritis menjadi subur menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kerusakan lingkungan dapat dipulihkan.
Hal ini memberikan pesan kuat bahwa peran aktif masyarakat dan dukungan pemerintah adalah kunci keberhasilan dalam melestarikan lingkungan.
Monumen 45 Banjarsari, Saksi Bisu Perjuangan, Hidden Gem di Solo
Monumen Tanah Kritis tidak hanya menjadi simbol keberhasilan rehabilitasi lahan, tetapi juga menjadi pengingat akan tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Melalui upaya konservasi yang terus dilakukan, generasi mendatang dapat menikmati manfaat dari lingkungan yang subur dan lestari.
Monumen ini menjadi bukti nyata bahwa perubahan ke arah yang lebih baik selalu mungkin dilakukan, asalkan ada kemauan dan kerja sama yang kuat.
Dengan demikian, Monumen Tanah Kritis di Jumantono bukan sekadar tugu peringatan, melainkan juga simbol harapan. Harapan akan masa depan yang lebih baik melalui kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
Perjalanan panjang dari tanah gersang menjadi subur mengajarkan bahwa usaha keras dan dedikasi dapat mengubah tantangan menjadi peluang, tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News