Di kawasan Plampitan, Kelurahan Peneleh, Kota Surabaya ada seorang sosok yang namanya diabadikan sebagai nama jalan yaitu Achmad Jaiz. Namanya pernah menghilang dari catatan sejarah, tetapi perjuangannya di kenang abadi oleh masyarakat.
Dimuat dari Detik, Achmad Jaiz tinggal berdekatan dengan Ruslan Abdulgani, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia (1956-1957). Dirinya awalnya terkenal sebagai seorang penjahit dan punya banyak pelanggan orang Belanda.
"Pascakemerdekaan nama Achmad Jais hilang. Ironisnya orang-orang di sekitar Plampitan itu kalau ditanya Achmad Jais hanya mengenal sebagai penjahit, karena dulu dia memang seorang penjahit," ujar pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia Kuncarsono Prasetyo.
Momen Penutupan KKN-T Bela Negara Gelombang II UPN “Veteran” Jawa Timur dan Penyerahan Kenang-Kenangan kepada Kelurahan Kalisari
Disebutkan oleh Kuncar, Achmad bukan seorang penjahit biasa. Dirinya merupakan pendiri dari Indonesische Studiclub (IS) bersama dr. Soetomo. Dia juga mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI).
"Banyak yang menyebut dia menjahit baju orang Belanda. Tapi lebih dari itu dia adalah pendiri Indonesische Studiclub (IS) bersama dr. Soetomo dan beberapa orang yang kemudian juga mendirikan GNI. Dia grupnya dr. Soetomo, dia juga seorang aktivis Muhammadiyah," ungkap Kuncar.
Perjuangan Achmad Jais
Achmad Jais bersama beberapa tokoh lain bahu membahu membangun kesadaran kebangsaan. Karena itu, dirinya terlibat dalam mendirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI) pada 4 Januari 1931.
Dijelaskan oleh Kuncar, PBI punya tujuan meningkatkan martabat hidup bangsa melalui program yang tidak sekedar mengutamakan aktivitas politik, namun juga di dalam bidang sosial dan ekonomi.
Berdirinya PBI tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang aktivisme Studieclub yang didirikan bersama dr. Soetomo pada tahun 1924.
mahasiswa-kkn-gelombang-2-upn-veteran-jawa-timur-mengadakan-lomba-cerdas-cermat
"Para pendiri PBI namanya diabadikan menjadi nama-nama Jalan di Peneleh sejak sekitar 15 tahun lalu. Orang selama ini mungkin mengenal dr. Soetomo dan GNI, padahal ada 6 orang pendirinya. Akhirnya orang menjadi sadar setelah nama Achmad Jais dipasang," jelas Kuncar.
Achmad juga termasuk yang sering mengkritik pemuka agama konservatif. Dirinya pernah menantang para pemuka agama di Masjid Peneleh untuk tidak khotbah dalam bahasa Arab dalam karena tidak dimengerti masyarakat setempat.
“Pak Jaiz juga masyhur sebagai orang yang berani menentang aliran Islam kolot, dan merupakan salah satu pendukung PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) yang kemudian menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya) pimpinan Dokter Soetomo,” aku Ruslan Abdulgani (2003:10) yang dimuat Tirto.
Dikenang
Sebagai tokoh masyarakat, Achmad Jaiz terus dikenang. Kini ada jalan yang bernamanya dirinya, melintasi kawasan Plampitan, Paneleh dan Pandean.
Hal ini merupakan kontribusi dari Roeslan Abdul Gani yang menceritakan perjuangan dari Achmad Jais. Padahal sejak kemerdekaan aktivisme Achmad Jais hampir terlupakan.
melayat-makam-keramat-yang-tetap-terawat-di-sebelah-mall-megah-surabaya
"Sekitar tahun 2002 Roeslan Abdul Gani meminta ke Walikota Surabaya untuk mengubah Jalan Plampitan sebagai Jalan Achmad Jais. Ia resah tidak banyak orang yang tahu soal aktivisme dan perjuangan Achmad Jais," ujar Kuncar.
Kini Jalan Achmad Jais membentang dari jembatan Genteng Kali hingga ke Jembatan Peneleh. Panjangnya kurang lebih satu kilometer. Di sekitar kawasan ini juga masih banyak ditemukan bangunan lama era kolonial yang saat ini digunakan sebagai rumah warga.
Sumber:
- Sosok Ahmad Jais, Pejuang Kemerdekaan yang Lebih Dikenal Sebagai Penjahit
- Kisah Peneleh, Kampungnya Raja Tanpa Mahkota
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News