Kawab GNFI, tahu ngga, sih? Indonesia ternyata masih menyimpan berbagai budaya unik yang belum banyak diketahui, loh. Salah satunya adalah tradisi perburuan suku Togutil di pulau Maluku. Suku Togutil adalah suku nomaden yang hidup di kawasan hutan Pulau Halmahera, Maluku Utara.
Suku ini punya kalender sendiri bernama kalender perburuan ekologis. Dengan memanfaatkan kalender perburuan ini, suku Togutil berhasil menjaga keberlanjutan populasi satwa liar di tengah ancaman modernisasi dan eksploitasi hutan.
Kawan GNFI penasaran, ngga, sih, bagaimana suku ini menggunakan kelendernya? Mari, kita simak sama-sama!
Tradisi yang Berakar pada Kearifan Lokal
Suku Togutil merupakan kelompok pemburu-pengumpul (hunter–gatherer) yang tinggal di sekitar aliran sungai dan hutan tropis Halmahera. Sebagai komunitas yang sangat bergantung pada hasil hutan, suku ini mengembangkan kalender perburuan ekologis untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Kalender ini mencakup siklus waktu 6-2-4, yang terdiri dari tiga periode perburuan: Obutanga (Oktober-April), Ohinoto (Mei-Juni), dan Oiyata (Juli-Oktober).
Kura-Kura Matahari, Satwa Endemik Asli Indonesia yang Langka tetapi Belum Dilindungi
Pada periode Obutanga, yang berlangsung selama musim hujan, perburuan difokuskan pada hewan seperti babi hutan dan rusa Timor. Kedua satwa ini menjadi sumber protein utama bagi anggota suku Togutil. Sedangkan Ohinoto, yang merupakan periode transisi ke musim kemarau, lebih banyak dimanfaatkan untuk menangkap satwa alternatif seperti biawak mangrove dan kuskus.
Periode terakhir, Oiyata, menandai musim perburuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menangkap satwa yang bernilai jual tinggi, seperti burung kakatua putih dan nuri bayan.
Metode Berburu dan Alat yang Digunakan
Suku Togutil menggunakan berbagai metode berburu yang disesuaikan dengan jenis hewan dan kondisi lingkungan, misalnya metode Omodoi Oiyata yang melibatkan penggunaan anjing untuk melacak lokasi hewan seperti babi hutan dan rusa.
Selain itu, ada pula Omodoi Dodeso, yakni menggunakan perangkap yang ditempatkan di jalur yang sering dilalui hewan. Metode Holimono atau berburu dengan busur panah merupakan metode lain yang umum digunakan untuk menangkap kuskus dan burung. Untuk menangkap burung, suku Togutil memanfaatkan getah pohon sebagai perekat alami.
Alat-alat yang digunakan meliputi busur panah (Otoimi), tombak besar (Okuama), tombak kecil (Ohohoba), dan parang (Odia Ohumaranga). Metode ini tidak hanya efisien, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal yang memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana.
Jenis Hewan yang Diburu
Beberapa jenis mamalia yang biasa diburu adalah babi hutan (Sus scrofa), rusa Timor (Cervus timorensis-moluccensis), dan kuskus ornata (Phalanger ornatus). Satwa ini menjadi sumber protein utama, terutama selama periode Obutanga dan Oiyata.
Selain itu, suku Togutil juga memburu biawak mangrove (Varanus indicus) dan ular piton untuk konsumsi. Sementara itu, jenis reptil seperti biawak pohon (Varanus caerulivirens) dan katak Amboina (Limnonectes grunniens) biasanya menjadi alternatif sumber protein ketika hewan utama sulit ditemukan.
Burung kakatua putih (Cacatua alba) dan nuri bayan (Eclectus roratus) biasanya diburu untuk dijual, mengingat nilai ekonominya yang tinggi. Burung lainnya, seperti kum-kum putih (Ducula bicolor) dan rangkong (Rhyticeros plicatus), lebih sering diburu untuk konsumsi.
Harga jual satwa bervariasi, misalnya daging rusa dan babi hutan dihargai sekitar Rp75.000 per kilogram, sedangkan burung kakatua putih bisa mencapai Rp750.000 per ekor.
Menjaga Keseimbangan Ekosistem
Praktik perburuan suku Togutil bukan sekadar aktivitas berburu, tetapi juga wujud penghormatan terhadap alam. Suku ini menetapkan berbagai larangan berburu, seperti tidak menangkap hewan yang sedang hamil atau menyusui, serta tidak berburu di kawasan tertentu yang dianggap "tabu".
Selain itu, simbol-simbol tradisional seperti Odudunga (penanda arah) dan Obubugo (simbol terima kasih) digunakan untuk memastikan keharmonisan antarpemburu dan menjaga etika perburuan.
Edukasi Pelestarian Satwa untuk Gen Z, Jagat Satwa Nusantara Berpartisipasi dalam Acara Sunset di Kebun
Keunikan lain dari tradisi ini adalah ritual Omahiloa, yaitu doa permohonan izin kepada pemilik alam sebelum memulai perburuan.
Tradisi tersebut mencerminkan filosofi hidup Suku Togutil yang meyakini bahwa "tidak ada kehidupan tanpa hutan". Dengan menjaga hutan, suku ini juga menjaga keberlangsungan hidup mereka sendiri.
Ancaman Modernisasi dan Perubahan Ekosistem
Sayangnya, tradisi kaya nilai ini tidak lepas dari ancaman. Pembukaan lahan untuk tambang nikel dan proyek pembangunan nasional telah mengurangi kawasan hutan tempat suku Togutil berburu. Hal ini mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar dan memaksa suku ini untuk mencari sumber penghidupan alternatif.
Selain itu, meski suku Togutil memiliki sistem pengelolaan perburuan berbasis kearifan lokal, sebagian besar pemburu Togutil tidak menyadari bahwa beberapa hewan yang mereka buru, seperti kakatua putih dan nuri bayan, masuk dalam kategori satwa dilindungi secara hukum.
Tanpa edukasi yang memadai, keberlanjutan tradisi ini bisa terancam oleh peraturan konservasi modern yang tidak terintegrasi dengan tradisi lokal.
Meski menghadapi berbagai tantangan, kalender perburuan ekologis suku Togutil memiliki potensi besar untuk dijadikan model konservasi berkelanjutan. Dengan melibatkan pemerintah dan organisasi non-pemerintah, kalender ini dapat diintegrasikan ke dalam program pemberdayaan suku-suku tradisional yang mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati.
Kearifan dari Hutan Halmahera
Kawan GNFI, kisah suku Togutil mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam. Di tengah modernisasi yang terus berkembang, tradisi ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukanlah konsep baru, melainkan bagian dari kearifan lokal yang telah ada selama berabad-abad.
Dengan melestarikan tradisi seperti kalender perburuan ekologis, kita tidak hanya menjaga kekayaan budaya Indonesia, tetapi juga mendukung upaya global dalam melestarikan keanekaragaman hayati.
Semoga cerita ini menginspirasi kita semua untuk lebih menghargai dan melindungi alam serta warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News