kecamatan padangan kawasan bersejarah ex ibukota jipang - News | Good News From Indonesia 2024

Kecamatan Padangan, Kawasan Bersejarah Ex Ibukota Jipang

Kecamatan Padangan, Kawasan Bersejarah Ex Ibukota Jipang
images info

Sejak zaman dahulu, Padangan mengambil peran penting dalam berbagai perkembangan sejarah Jipang hingga Bojonegoro. Sempat beberapa kali menjadi pusat pemerintahan, tetapi karena banyak faktor, akhirnya pusat kekuasaan tersebut dipindahkan ke luar dari daerah Padangan.

Pada jurnal karya Muhammad Eko Subagtio yang berjudul Pemanfaatan Situs Kota Tua Padangan Kabupaten Bojonegoro Sebagai Objek Pembelajaran Kontekstual Berbasis Digital History, dijelaskan bahwa berdasarkan perjanjian antara Mataram dengan VOC yang ditandatangani oleh Sunan Amangkurat II, tanggal 20 Oktober 1677 merupakan tarikh berdirinya Kabupaten Jipang menggantikan Kadipaten Jipang. Ini sekaligus diakui sebagai dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.

Alasan pengakuan tahun tersebut sebagai Hari Jadi Bojonegoro karena pusat pemerintahan Kabupaten Jipang pertama kali berada di wilayah Bojonegoro saat ini, lebih tepatnya berada di Kecamatan Padangan.

Kemudian di dalam tulisan Totok Supriyanto yang berjudul Timeline Pecahnya Jipang Menjadi Bagian Blora dan Bojonegoro di Bloranews.com, disebutkan bahwa pada tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles memindahkan Ibukota Jipang, dari Panolan ke Padangan. Alasannya adalah kondisi Padangan yang waktu itu sebagai bandar niaga sungai. Dengan demikian, kapal-kapal laut bisa langsung masuk ke Padangan via Kali Miring, Gresik.

Dengan adanya pemindahan lokasi ibukota ini, terlihat jelas bahwa posisi dan peran Padangan di Jipang kala itu sebagai kawasan perdagangan. Pada catatan A. J. Van der Aa, di buku Beschrijving Der Nederlandsche Bezittingen In Oost-Indie (1857), Padangan dicatat sebagai Djipang Kuno, kota transportasi dan perdagangan, sekaligus pusat Pelabuhan Sungai Bengawan Solo.

Misteri Desa Malingmati di Bojonegoro, Ketika Maling yang Nekat Selalu Dapat Tertangkap

Peran dan pengaruh Padangan selain sebagai tempat perdagangan, jauh sebelum itu juga dikenal sebagai tempat menyebarkan syiar islam sejak abad ke-14 Masehi. Thomas Raffles dalam History of Java (1817) menyebutkan bahwa Sayyid Jamaluddin Akbar atau Syekh Jumadil Kubro menyebarkan islam di Gunung Jali, Jipang Padangan. Keterangan ini juga disebutkan oleh Gus Dur dalam buku The Passing Over (1998).

Setelah melewati berbagai era dan pasang-surut zaman, di masa kini, Padangan menjadi sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, berbatasan dengan bekas wilayah Jipang lain, yakni Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah.

Jejak-jejak peninggalan yang ada tempat ini pun masih banyak bertebaran hingga kini. Berikut sisa-sisa peninggalan dan petilasan yang masih bisa kita temui:

Kawasan Kota Tua

Sebagai kawasan yang bersejarah, tentu keberadaan pecinan dan kota tua di Padangan merupakan salah satu bukti nyata, atas posisi dan perannya di masa lalu.

Jika berkunjung ke sini, deretan rumah tua yang masih bisa dilihat bentuk arsitektur bangunannya ialah Rumah Koh Bing dan Toko Palawija (di kawasan Pecinan), Gapura Masjid Besar Darul Muttaqin (Bertarikh 1931), Kompleks pertokoan Pecinan, Kantor Pegadaian, Museum Padangan Heritage, hingga Kantor Polsek Padangan (bekas rumah milik Jwa Kang Wat tahun 1900-an).

Makam Menak Anggrung

Makam Menak Anggrung berlokasi di Desa Kuncen, Kecamatan Padangan. Pemakaman ini menjadi tempat peristirahatan terakhir dari dua orang tokoh penyebar agama islam di Padangan, Bojonegoro yakni Mbah Sabil (Pangeran Adiningrat Dandang Kusumo) dan Mbah Hasyim.

Dalam jurnaba.co, disebutkan bahwa Menak Anggrung merupakan mushola kecil tempat santri mondok dan belajar agama pada tahun 1600-an Masehi.

Macan Alas Jati, Pahlawan Bojonegoro yang Menginspirasi Pangeran Diponegoro

Manuskrip Padangan

Selain peninggalan berupa bangunan dan makam, ada juga peninggalan bersejarah berupa naskah hasil tulisan tangan atau manuskrip dari Syekh Abdurrohman Klotok (1776–1877 M) yang ditemukan di Pondok Pesantren Al Basyiriah Pethak dan ditulis pada rentang tahun 1806–1875 M, dari berbagai cabang keilmuan seperti At-Tafriq (Fiqih), Kitab Tajwid Quran, Amtsilah Tashrif (Kamus), Kitab Sanad Thariqah, Hadist Arba’ain (Hadis), Fathul Mubin Syarah Ummul Bahrain (Akidah), Manuskrip Padangan (jejaring ulama abad ke-17 di Padangan), Catatan Perjalanan Haji, Kitab Mujarobat, dan lain sebagainya.

Dengan banyaknya bangunan maupun ritus bersejarah di ex ibukota Kabupaten Jipang ini, harusnya ada banyak pihak yang bisa sadar dan terlibat, termasuk pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang harus bergerak cepat dalam mengelola kawasan "Kota Tua"nya.

Karena lewat situs-situs peninggalannya inilah, sejarah perkembangan dan peradaban di Kabupaten Bojonegoro pada masa kini bisa ikut terbentuk.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RI
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.