Di tengah modernitas yang kian menggempur kehidupan tradisional, masih ada tempat-tempat yang teguh mempertahankan warisan leluhur. Salah satunya adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Di Kampung Naga, semua itu bukan sekadar cerita, tetapi kenyataan yang hidup.
Penduduknya menjalani keseharian dengan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya contoh nyata keberlanjutan hidup yang selaras dengan alam.
Sekilas tentang Kampung Naga
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasinya berada di jalur strategis antara Tasikmalaya dan Garut, dengan jarak 30 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya atau 26 kilometer dari Garut. Dari Bandung, perjalanan sejauh 106 kilometer dapat ditempuh dalam waktu sekitar 2,5 jam.
Nama "Naga" berasal dari kata nagawir dalam bahasa Sunda, yang berarti "kampung di bawah tebing terjal." Sesuai namanya, Kampung Naga berada di kawasan perbukitan yang dikelilingi hutan hijau dan aliran Sungai Ciwulan.
Daya Tarik Kampung Naga
Lebih dari sekadar destinasi wisata, Kampung Naga adalah tempat di mana Kawan bisa belajar langsung dari alam dan tradisi.
Dari arsitektur rumah yang seragam hingga cara mereka mengelola hasil panen tanpa mengesampingkan kelestarian lingkungan, semuanya merepresentasikan kebijaksanaan lokal yang patut diacungi jempol.
Kampung Naga dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga yang hidup dengan prinsip menjaga keseimbangan alam. Mereka menjaga kelestarian dua bukit keramat, Bukit Naga dan Bukit Biuk, yang menjadi sumber air dan pengairan alami. Hutan di bukit ini pun tidak boleh sembarangan ditebang.
Rumah-rumah di Kampung Naga memiliki desain seragam berupa rumah panggung dari kayu, dinding anyaman bambu, dan atap ijuk. Arah bangunan mengikuti matahari, sehingga menciptakan tata ruang yang harmonis.
Jumlah rumah di kampung ini tetap sama sejak zaman dahulu, yaitu sekitar 110 unit. Selain rumah warga, terdapat tiga bangunan utama, yaitu masjid, Bumi Ageung untuk menyimpan pusaka adat, dan Bale Patemon sebagai tempat pertemuan.
Warga Kampung Naga memegang teguh ajaran leluhur atau karuhun. Mereka memilih hidup tanpa listrik untuk menghindari dampak buruk teknologi. Sebagai gantinya, mereka memanfaatkan aki untuk kebutuhan listrik dasar.
Hasil panen padi mereka disimpan di leuit atau lumbung, dan hanya digunakan untuk kebutuhan warga, bukan untuk dijual.
Hamparan sawah, kolam ikan, dan aliran Sungai Ciwulan menyajikan pemandangan yang menenangkan. Udara di kampung ini sejuk, dengan suhu sekitar 20-23 derajat Celsius. Jalan setapak yang menghubungkan area kampung memberikan pengalaman berjalan kaki yang memanjakan mata dan jiwa.
Akses Menuju Kampung Naga
Dari Kota Tasikmalaya, Kawan GNFI bisa menuju Kampung Naga melalui perjalanan darat selama satu jam. Jalur alternatif adalah dari Kota Garut dengan jarak tempuh yang lebih dekat. Kampung ini juga dapat dijangkau dari Bandung dalam waktu sekitar 2,5 jam.
Setelah tiba di pintu masuk, Kawan harus menuruni ratusan anak tangga untuk mencapai kampung. Meskipun melelahkan, perjalanan ini sebanding dengan keindahan yang menanti di bawah.
Kampung Naga bukan sekadar destinasi wisata, tetapi juga cerminan kehidupan yang selaras dengan alam. Petuah leluhur yang terus dijaga oleh warga kampung menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya keberlanjutan dan kearifan lokal.
Jadi, Kawan GNFI, jika ingin merasakan suasana tradisional yang autentik sambil menikmati keindahan alam, Kampung Naga adalah tempat yang tepat. Jangan lupa, saat berkunjung, tetap hormati adat istiadat setempat dan jaga kebersihan lingkungan.
Yuk, rencanakan perjalanan Kawan ke Kampung Naga dan nikmati pesonanya yang tak lekang oleh waktu!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News