Konflik jangka panjang di Myanmar menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi ASEAN. Sejak penggulingan pemerintahan yang dilakukan oleh junta militer pada Februari 2021, Myanmar masih diliputi krisis hingga saat ini.
Kudeta militer ini menyebabkan bentrokan antara warga sipil dengan militer yang menimbulkan banyak korban jiwa. Menyikapi hal ini, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara ikut membantu menyelesaikan konflik berkepanjangan tersebut.
Bahkan, pada helatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN 2023 di Jakarta, seluruh pemimpin ASEAN mencapai konsensus untuk tidak mengizinkan Myanmar untuk memegang keketuaan blok tersebut pada 2026. Hal ini berkaitan dengan konflik internal yang tak kunjung usai.
Akan tetapi, meskipun tidak mengizinkan Myanmar untuk memimpin presidensi KTT ASEAN, seluruh anggota tetap berkomitmen melanjutkan bantuan kemanusiaan di sana. Di sisi lain, ASEAN juga telah membuat Konsensus Lima Poin yang merupakan kesepakatan damai antara ASEAN dengan pemimpin militer Myanmar.
Konsensus Lima Poin ini telah disahkan di Jakarta pada 24 April 2021, kurang dari dua bulan pasca penggulingan pemerintahan Myanmar oleh junta militer. Seluruh anggota ASEAN juga setuju atas kesepakatan damai tersebut.
Lima poin yang diatur dalam konsensus itu antara lain, pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian kekerasan, dialog inklusif antara ASEAN dan pemimpin militer Myanmar, pembentukan utusan khusus, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.
Sayangnya, konsensus Lima Poin yang dibuat oleh ASEAN sebagai jalan tengah untuk mendamaikan konflik itu belum menemukan titik terang. Lalu, bagaimana Indonesia dan ASEAN membantu menyelesaikan konflik tersebut?
Situasi Global Tak Menentu, ASEAN Tetap Damai bersama Indonesia
Indonesia: ASEAN selalu utamakan dialog persuasif
Sampai saat ini, ASEAN senantiasa mengutamakan langkah-langkah diplomasi persuasif dalam menyelesaikan konflik Myanmar. Bahkan, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI memastikan ASEAN tidak akan menjatuhkan sanksi organisasi kepada negara tersebut.
“Sanksi itu bukan DNA negara-negara ASEAN, apalagi ASEAN sendiri tidak mengenal mekanisme sanksi terhadap negara anggotanya,” ungkap Juru Bicara Kemlu RI, Rolliansyah Soemirat, dihimpun dari InfoPublik, Selasa (17/12/2024).
Kendati demikian, ASEAN akan terus mendorong semua pihak berkonflik di Myanmar untuk duduk dan berdialog bersama untuk mengakhiri perang saudara yang terus berkecamuk itu. Dalam keterangan selanjutnya, Rolliansyah menyebut bahwa sanksi tidak bisa diterapkan secara membabi buta karena dapat merugikan masyarakat tak berdosa.
Menurutnya, sanksi hanya dapat diterapkan sebagai langkah terakhir jika langkah persuasif sudah tidak dapat dilakukan. Di sisi lain, Indonesia memandang bahwa satu-satunya sanksi yang diakui dan dapat diimplementasikan pada suatu negara adalah sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sebagai entitas multilateral yang berhak.
“Bagaimanapun juga, untuk Indonesia, Myanmar adalah bagian dari ASEAN dan akan selalu menjadi bagian dari ASEAN, menjadi anggota ASEAN yang harus kita bantu,” sebutnya.
Keputusan ASEAN untuk tidak melibatkan Myanmar dalam kegiatan organisasi diakui bukan merupakan sanksi, tetapi upaya memberi ruang agar Myanmar dapat menyelesaikan konflik internalnya terlebih dahulu.
Indonesia dan Resolusi 2538: Membawa Perempuan dalam Misi Perdamaian
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News