Di Kota Semarang terdapat sebuah rumah bersejarah yang menjadi saksi bisu sengitnya pertempuran pada zaman revolusi kemerdekaan di tahun 1946. Diketahui di rumah yang berada di kawasan Jalan Syuhada ini ada 74 anggota laskar pejuang gugur.
Dimuat dari Antara, rumah yang beralamat di Kampung Bugen, RT 05/RW 22, Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang itu terbuat dari kayu dan berbentuk limasan. Di rumah ini masih menyimpan lubang-lubang bekas peluru yang ditembakkan pada saat perang meletus.
Ketua RT 05/RW 11 Kampung Bugen, Ponidi mengungkapkan bahwa rumah ini adalah milik Haji Mustofa yang kemudian diwariskan kepada anak bungsunya, Musriatun. Ponidi adalah menantu Musriatun yang saat ini masih tinggal di rumah tersebut.
Cerita Gedung Setan di Semarang yang Jadi Tempat Berkumpul Freemansory
Rumah ini masih dalam kondisi asli, tidak ada perubahan dalam struktur bangunan.
Walau lubang bekas peluru masih bisa dilihat dari luar rumah, tetapi di dalam sudah tidak ditemukan lagi karena sudah ditambal dari dalam pada saat renovasi.
“Rumah ini masih asli. Dulu pernah direnovasi dengan cara ditempel kayu dari dalam. Kalau di luar masih dibiarkan asli seperti itu. Biar sejarahnya tidak hilang,” ujar Ponidi.
Markas pejuang
Diketahui rumah kayu ini menjadi markas 74 orang pejuang, 72 dari Laskar Sabilillah dan 2 orang dari Laskar Hizbullah. Mereka menjadikan rumah itu markas karena kondisinya kosong.
Tetapi Belanda mengetahui letak markas dan memborbardir rumah tersebut dengan senjata mitraliur dan tekidanto. Hujaman peluru dari Belanda membuat semua pejuang gugur di rumah tersebut.
“Saat itu ada 74 pejuang, yakni 72 dari Laskar Sabilillah dan dua orang dari Hizbullah. Mereka singgah di rumah ini dan menjadikan markas pertahanan karena memang kondisinya kosong," katanya.
Pasar Johar, Titik Sejarah Semarang yang Jadi Asal Sound Viral Tren Baju Lebaran Shimmer
Belanda kemudian mengubur mereka semua dalam satu lubang yang berada di depan rumah. Tetapi Pemerintah telah memindahkan jasad mereka ke samping rumah dan membuatkan sebuah monumen berbentuk joglo untuk mengenang para pahlawan tersebut.
Pada tahun 1960, makam itu dibongkar lagi dan jasad para pejuang itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal. Namun hanya 40 kerangka yang dipindahkan.
Di antara nama-nama pejuang yang gugur di tempat itu adalah Kiai Anwar dari Solo, Kiai Tohar dari Boyolali, Kiai Sarju dari Kepatihan Solo, Hasan Anwar sebagai pimpinan Sabilillah, dan Subakir sebagai pimpinan Hizbullah.
Sering diziarahi
Karena kisah heroik dari para pejuang ini banyak masyarakat yang berziarah ke tempat tersebut. Masyarakat sekitar juga rutin menggelar haul pada tanggal 11 Muharram atau minggu kedua pada bulan Muharram.
“Kebetulan, peristiwa itu terjadi pada 11 1366 Hijriah. Awalnya, haul diadakan setiap 11 Muharram, tapi sekarang pada minggu kedua bulan Muharram. Haul diisi dengan khataman Al Quran dan pengajian," kata pria yang juga jadi juru kunci makam.
Wujud Akulturasi Budaya, Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang Ciptakan Gamelan Cina Jawa
Menjelang HUT ke-79 Republik Indonesia, Ponidi berharap keberadaan itu mendapat perhatian dari pemerintah. Apalagi plafon rumah sudah banyak yang jebol dan beberapa genting hilang. Rumah itupun sudah berkali-kali tergenang banjir.
“Bisa dilihat sendiri, sudah banyak yang rusak. Kalau kayu jatinya ini butuh perawatan. Kami berharap pemerintah memberikan perhatian,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News