Indonesia dihuni oleh lebih dari 280 juta jiwa yang terdiri dari berbagai latar belakang berbeda. Negeri yang kaya raya ini memiliki banyak jenis suku, agama, dan budaya.
Keunikan ini tentu saja membuat bangsa Indonesia lebih toleran terhadap perbedaan. Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2024 menunjukkan, terdapat kenaikan poin pada Indeks KUB.
Tahun 2024, Indeks KUB mencatatkan poin kerukunan umat di Indonesia sebesar 76,47. Angka ini naik 0,45 poin dibandingkan tahun 2023 yang mencatatkan nilai 76,02.
Kementerian Agama RI (Kemenag) mengklaim, tren positif ini menggambarkan sikap toleransi antarumat beragama di Indonesia cenderung membaik. Menariknya, poin Indeks KUB selama tiga tahun terakhir juga terpantau terus meningkat.
Harmoni agama di Indonesia yang diapresiasi tokoh agama dunia
Saat Paus Fransiskus bertandang ke Indonesia dalam kunjungan Apostoliknya di bulan September 2024 lalu, ia menyebut bahwa Indonesia merupakan miniatur keberagaman dan toleransi dunia. Di mata Paus dan Vatikan, Indonesia merupakan sebuah negara hebat.
Sebutan “hebat” itu bukan tanpa sebab. Menurut Paus, meskipun Indonesia merupakan negara yang mayoritasnya beragama Muslim, tetapi tetap ada ruang bagi agama dan budaya lain untuk berkembang.
Toleransi beragama acapkali menjadi isu yang sangat sensitif, utamanya di negara-negara yang memiliki populasi yang beragam. Akan tetapi, Indonesia berhasil menunjukkan bahwa perbedaan dapat menjadi cinta dan ciri khas yang indah di mata dunia.
Tetap Lakukan Tahlilan, Cara Masyarakat Kristen Madura Jaga Toleransi Sejak Tahun 1932
Hal senada disampaikan oleh Syekh Mufti Menk saat berkunjung ke Indonesia, Senin (9/12/2024). Tokoh besar asal Inggris ini mengaku senang melihat kerukunan dan harmoni di Indonesia, dan berharap bisa ditularkan ke dunia.
"Saya senang berkunjung ke Indonesia, suasanya tenang damai, keramahtamahan Indonesia menerima saya dengan baik," ungkap Syekh Mufti Menk dikutip dari rilis Kementerian Agama RI.
Diplomasi agama dan tugasnya untuk menyatukan warna perbedaan
Diplomasi agama (religious diplomacy) adalah bentuk diplomasi yang mengangkat aspek keagamaan, seperti kebiasaan, tradisi, dan ajaran, untuk mendukung terciptanya perdamaian. Diplomasi jenis ini juga dianggap mampu membantu menyelesaikan konflik atau permasalahan tertentu.
Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menjelaskan jika diplomasi berbasis agama adalah cara untuk menjadikan nilai-nilai agama, seperti toleransi dan keadilan, untuk membangun dialog, mencegah konflik, dan menciptakan perdamaian antarbangsa.
Diplomasi agama dianggap sebagai pendekatan baru untuk membangun dialog lintas batas. Tidak hanya itu, Menag sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal itu juga menyebut bahwa Indonesia sudah memulai langkah diplomasi berbasis agama.
Salah satunya adalah dengan rutin mengundang duta besar negara-negara sahabat. Ia menyebut, setidaknya 40 duta besar sering menghadiri acara-acara yang dilakukan di Masjid Istiqlal.
“Agama adalah jembatan yang menyatukan, bukan memisahkan,” tulis Menag dalam sebuah unggahan di akun Instagramnya, @nasaruddin_umar.
Kementerian Agama bersama Kementerian Luar Negeri RI juga telah melakukan dialog lintas agama dengan 34 negara. Dialog moderasi beragama ini menjadi aset sekaligus contoh yang baik dalam merekatkan hubungan dengan negara sahabat.
Diplomasi agama dianggap berbeda dengan diplomasi formal yang lebih terbatas. Nasaruddin menjelaskan, bahasan agama dalam pokok pertemuan diplomasi dapat menembus batas dan menyatukan pandangan.
Selain itu, menurutnya, dalam agama apa pun, manusia dipandang sebagai satu kesatuan tanpa perbedaan warna atau identitas lainnya. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang heterogen dengan berbagai jenis agama dan keyakinan di dalamnya diharapkan mampu menjadi pusat harmoni dan toleransi di dunia.
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, Sebuah Perjalanan tentang Diakonia dan Toleransi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News