Tata kota merupakan sebuah perencanaan untuk mengatur fungsi ruang-ruang dalam kota. Perencanaan kota yang baik dapat mewujudkan kota yang teratur, tertib, nyaman, mengatasi masalah sosial dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Tata kota di Indonesia berkembang melalui perpaduan tradisi lokal, pengaruh kolonial, modernisasi, dan kondisi geografis. Termasuk di dalamnya saat para walisongo menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Akulturasi budaya ini turut mempengaruhi pula pola tata kota yang tidak hanya fungsional, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis. Para wali mencetuskan konsep yang dikenal dengan nama “Catur Gatra Tunggal’
Catur Gatra Tunggal
Sebelum kedatangan para wali, kota-kota di Nusantara berkembang dengan karakteristik budaya Hindu-Budha dan sistem kerajaan tradisonal. Kemudian para wali mengenalkan tata ruang yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam di berbagai wilayah, terutama di Jawa.
Catur Gatra Tunggal berasal dari bahas sansekerta yang secara harfiah berarti empat elemen menjadi satu. Konsep ini berasal dari perpaduan nilai-nilai lokal Jawa, yang berakar pada kosmologi tradisional, dengan prinsip-prinsip Islam yang dibawa oleh Walisongo.
Konsep ini menyatukan empat elemen utama pada tata kota, yaitu tauhid, ukhuwah, keberkahan ekonomi, dan kepemimpinan yang amanah. Penataan ini menciptakan harmoni kehidupan di dalam sebuah kota.
1. Masjid: Pusat Spiritualitas
Masjid merupakan elemen pertama yang mencerminkan nilai tauhid. Masjid biasanya diletakkan di sisi barat alun-alun, mengikuti orientasi kiblat yang menghadap ke Ka'bah. Terletak di tengah-tengah peradaban sebagai simbol pentingnya nilai spiritual dalam kehidupan.
Selain sebagai tempat beribadah, pendidikan agama, juga sebagai tempat musyawarah. Desain masjid mengadaptasi gaya arsitektur nusantara seperti atap yang berbentuk limas bertingkat. Contoh yang paling terkenal adalah Masjid Agung Demak.
2. Alun-alun: Pusat Sosial
Alun-alun, ruang terbuka luas yang terletak di tengah pusat kota membawa nilai ukhuwah, karena merupakan tempat berkumpul semua kalangan untuk membangun ukhuwah atau persaudaraan. Alun-alun merupakan ruang publik yang mengakomodasi interaksi masyarakat dari berbagai lapisan, misalnya saat berlangsung kegiatan sosial seperti upacara, pertunjukan seni, juga perayaan hari besar agama.
Adanya pohon beringin di tengah alun-alun menjadi ciri khas yang melambangkan perlindungan dan kesatuan. Dua pohon beringin sering ditempatkan sebagai simbol dualitas dan harmoni. Letaknya yang dekat dengan masjid mengisyaratkan bahwa kegiatan duniawi dan spiritual saling berkaitan. Contoh alun-alun bersejarah ini seperti Alun-alun Demak, Yogyakarta, Surakarta.
Baca juga: Kotagede dan Filosofi Catur Gatra dalam Tata Kota Kuno
3. Pasar: Pusat Ekonomi
Pasar tradisional seringkali ada di sisi timur atau selatan alun-alun, berbentuk terbuka dengan los-los yang fleksibel. Pasar menjadi tempat aktivitas ekonomi utama, di mana jual beli mencerminkan keberkahan ekonomi yang dikelola secara jujur dan adil berdasarkan prinsip Islam.
Tidak hanya tempat transaksi barang, tetapi juga transaksi sosial, yakni penyebaran nilai-nilai Islam. Pasar menjadi tempat bertemuanya pedagang lokal dan pedagang asing, seperti Arab, India, Tiongkok dan Melayu, sehingga menciptakan lingkungan perdagangan yang multikultural. Contoh pasar di era kerajaan Islam adalah Pasar di Demak, Cirebon, dan Gresik.
4. Keraton: Pusat Pemerintahan
Keraton berdiri untuk menunjukkan kekuasaan politik. Dikelilingi tembok dan terletak sedikit terpisah dari pusat keramaian, mengisyaratkan keesklusifan tempat tinggal raja dan ratu.
Namun, letaknya tidak jauh dari alun-alun sebagai simbol kedekatan rakyat dan penguasa. Selain sebagai tempat tinggal, keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan, administrasi, dan tempat penyelenggaraan upacara kenegaraan.
Kompleks keraton dirancang dengan gaya arsitektur yang megah perpaduan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, seperti yang terlihat pada ukiran motif flora, fauna dan kaligrafi Arab. Dominasi warna emas, hijau dan putih melambangkan kemuliaan, kesucian dan keislaman.
Contoh keraton yang masih dapat dikunjungi hingga saat ini adalah Keraton Yogyakarta dan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Baca juga: Catur Gatra Tunggal: Filosofi Mataram Islam dalam Tata Ruang Alun-Alun Bandung
Adaptasinya dalam Tata Kota Modern
Seiring perkembangan zaman, konsep Catur Gatra Tunggal tidak sepenuhnya hilang. Jejaknya masih terlihat di kota-kota yang memiliki warisan kerajaan Islam, seperti Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dan Demak.
Namun, di sebagian wilayah terutama kota besar, konsep ini tidak lagi diimplementasikan secara utuh, terutama posisi dan letaknya harus bergeser mengikuti efisiensi ruang dan tuntuan urbanisasi. Ditambah dengan fasilitas transportasi dan infrastuktur modern, secara fungsi, masjid, alun-alun dan pasar masih sama, sedangkan keraton lebih berperan sebagai situs budaya.
Meskipun tata kota modern cenderung lebih mengutamakan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, konsep Catur Gatra Tunggal tetap relevan sebagai inspirasi dalam menciptakan kota yang harmonis antara aspek sosial, religius, ekonomi, dan pemerintahan.
Sumber:
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/catur-gatra-tunggal/
- https://jogja.idntimes.com/life/education/dyar-ayu-1/catur-gatra-tunggal-4-elemen-tata-kota-keraton-yogyakarta?page=all
- https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Kasepuhan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News