Kotagede, terletak di bagian selatan Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, adalah sebuah kota kuno yang telah berdiri sejak tahun 1532 M. Kota ini merupakan bekas ibu kota Kerajaan Mataram Islam, dan merupakan situs penting dalam sejarah Indonesia. Kotagede tidak hanya dikenal karena arsitektur tradisionalnya, tetapi juga sebagai pusat kerajinan perak yang terkenal sejak abad ke-16. Kawasan ini mengandung banyak peninggalan sejarah, mulai dari bangunan bersejarah hingga tradisi budaya yang masih lestari hingga saat ini.
Sejarah Kota dan Filosofi Tata Kota
Pada masa lalu, Kotagede merupakan pusat kegiatan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang vital. Penataan kota ini mengikuti konsep tradisional Jawa yang dikenal sebagai “Catur Gatra,” yang mencakup empat elemen penting: keraton, pasar, alun-alun, dan masjid. Tata kota ini dirancang untuk mendukung fungsi-fungsi penting dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Keraton atau istana merupakan pusat pemerintahan di Kotagede, yang terletak di kampung dalam dan dikelilingi oleh pohon beringin tua sebagai simbol kekuasaan. Di sebelah utara keraton terdapat alun-alun, yang pada masa lalu berfungsi sebagai pusat kegiatan budaya dan latihan militer. Alun-alun ini, kini telah berubah fungsi menjadi real estate, namun pada masanya, alun-alun adalah pusat pengembangan seni dan budaya, serta tempat latihan perang.
Pasar Kotagede, yang terletak di sebelah utara alun-alun, berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi. Pasar ini terus beroperasi hingga saat ini sebagai pusat jual beli dan aktivitas ekonomi masyarakat. Di sebelah barat alun-alun berdiri Masjid Kotagede, yang merupakan pusat ibadah dan penyebaran Islam. Masjid ini merupakan salah satu bangunan paling penting yang masih digunakan hingga sekarang, menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama Islam dan struktur sosial masyarakat Kotagede.
Namun, meskipun keraton dan alun-alun tidak lagi ada, identitas sejarah Kotagede tetap dapat dilihat dari struktur arsitektur dan toponim yang masih lestari. Nama-nama kampung seperti Pandheyan, Samakan, Sayangan, dan Mranggen mengingatkan akan profesi, status sosial, atau tokoh-tokoh penting dalam sejarah Kotagede.
Pendirian Kerajaan Mataram di Kotagede tidak dapat dipisahkan dari peran Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Sebelum adanya Kerajaan Mataram, agama Islam hanya berkembang di pesisir utara Jawa seperti Banten dan Gresik. Sunan Kalijaga memandang pentingnya perluasan agama Islam ke wilayah pedalaman, sehingga mendorong pendirian Kerajaan Mataram di Kotagede.
Pada tahun 1575, Sultan Hadi Wijuhyo dari Kesultanan Pajang memberikan hutan Mentau kepada Kiai Gedhe Pemanahan sebagai hadiah. Kiai Gedhe Pemanahan kemudian membuka hutan tersebut menjadi hunian untuk umat Muslim. Proses ini melibatkan berbagai peristiwa yang menunjukkan bagaimana hutan tersebut menjadi bagian dari Kerajaan Mataram. Kiai Gedhe Pemanahan, bersama dengan rombongan kerabatnya, memulai pembangunan kota dan struktur pemerintahan yang mendukung penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Filosofi “Catur Gotro Tunggal”
Landasan idil Kerajaan Mataram dikenal dengan istilah “Catur Gotro Tunggal,” yang berarti empat elemen menjadi satu. Keempat elemen tersebut adalah keraton, alun-alun, pasar, dan masjid. Filosofi ini menggambarkan bagaimana setiap elemen berfungsi dalam satu kesatuan yang harmonis. Keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pembuatan undang-undang, alun-alun sebagai pusat seni dan budaya serta latihan perang, pasar sebagai pusat ekonomi, dan masjid sebagai tempat ibadah serta pelaksanaan hukum agama Islam.
Dalam konteks ini, keraton adalah pusat pengambilan keputusan dan pembuatan peraturan, sedangkan alun-alun berfungsi sebagai ruang publik untuk aktivitas sosial dan budaya. Pasar Kotagede merupakan tempat jual beli dan aktivitas ekonomi masyarakat, sementara masjid adalah pusat ibadah dan penyebaran agama Islam. Struktur tata kota ini dirancang untuk memastikan bahwa semua aspek kehidupan masyarakat Kotagede berintegrasi dengan ajaran agama dan kebutuhan sosial.
Jejak Warisan Budaya dan Arsitektur
Jejak kejayaan Kerajaan Mataram masih terlihat jelas di Kotagede melalui berbagai situs sejarah dan arsitektur. Salah satu peninggalan penting adalah Masjid Gedhe Mataram, yang dibangun pada era Senopati dan kemudian disempurnakan oleh cucunya, Sultan Agung Hanyakrakusuma. Masjid ini menonjol dengan arsitektur bergaya Jawa-Islam dan terus dipertahankan hingga kini sebagai tempat ibadah dan simbol sejarah.
Selain masjid, Kotagede memiliki berbagai situs bersejarah lainnya, seperti kompleks pemakaman para leluhur dan pendiri kerajaan. Di antaranya adalah makam Kiai Gedhe Pemanahan, Watu Gilang, dan Watu Gatheng. Benteng Cepuri dan Benteng Baluarti juga merupakan bagian dari cagar budaya yang melingkari Kraton, memberikan gambaran tentang sistem pertahanan masa lalu dengan parit yang mengelilinginya.
Arsitektur di Kotagede menggambarkan pengaruh budaya Jawa, Eropa, dan Asia Tenggara. Rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh kaum ningrat dan saudagar Muslim dari Campa serta Vietnam Selatan mencerminkan kekayaan budaya yang menyatu. Rumah-rumah Kalangan memiliki ukuran besar dan arsitektur campuran, sementara rumah bergaya Indis menampilkan ornamen Eropa dengan desain tradisional Jawa.
Sebagai Destinasi Pariwisata
Kotagede dikenal sebagai “Living Museum” karena pelestariannya terhadap warisan budaya. Kawasan ini menarik wisatawan dengan bangunan bersejarah seperti Masjid Gedhe Mataram dan situs-situs sejarah lainnya. Pada Agustus 2019, Kotagede diakui sebagai salah satu dari 13 kota terindah di dunia versi CNN Internasional. Keunikan arsitektur dan kekayaan sejarahnya membuat Kotagede menjadi destinasi pariwisata budaya yang penting.
Harapan masyarakat Kotagede adalah agar kota ini tetap aman, damai, dan lestari. Generasi muda diharapkan dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu dengan menjadi pelajar dan mahasiswa yang bermanfaat bagi bangsa. Pelestarian warisan budaya Kotagede sangat penting agar kota bersejarah ini dapat terus dinikmati sebagai destinasi pariwisata budaya dan warisan bagi generasi mendatang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News