Bagus Putra Muljadi dikenal sebagai ilmuwan Indonesia yang mendunia dan tidak biasa. Riwayat pendidikannya menarik sebelum menjadi seorang ilmuwan. Ia berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), tapi kerap bolos dari perkuliahan sehingga membuatnya meraih nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di bawah tiga dan lulus tak tepat waktu.
Namun, Bagus membuktikan bahwa nilai akademik bukan segalanya. Setelah mendapat gelar sarjana, ia lebih tekun belajar dan menyelesaikan gelar master dan doktornya di bidang mekanika terapan di National Taiwan University (NTU).
Kini Bagus menjadi asisten profesor di Departemen Teknik Lingkungan dan Kimia Universitas Nottingham, Nottingham, Inggris. Tugasnya tidak hanya mengajar, tapi juga menjembatani dosen dan peneliti Indonesia dengan instansi luar negeri. Karena ia yakin, para akademisi Indonesia memiliki kualitas dan kompeten untuk berkolaborasi dalam riset ilmu pengetahuan.
Universitas Nottingham sendiri termasuk kampus terbaik di dunia dan Inggris Raya. Dua akademisinya, Sir Peter Mansfield dan Sir Clive Granger bahkan pernah mendapat penghargaan Nobel karena penelitiannya berkontribusi untuk kehidupan manusia.
Penghargaan Nobel
Penghargaan Nobel adalah penghargaan internasional prestisius yang sudah diadakan sejak 1901. Setiap tahunnya penghargaan ini diberikan untuk beberapa orang yang mempunyai kontribusi besar dalam bidang fisika, kimia, kesehatan, literatur, ekonomi, hingga perdamaian. Sayangnya sampai 2024, belum ada peneliti Indonesia menghiasi daftar peraih Nobel, apa alasannya.
Menurut Bagus, belum adanya peraih Nobel dari Indonesia karena institusi-institusi di tanah air belum seterkenal universitas kelas dunia seperti Stanford dan Harvard. Jadi kepintaran masing-masing individu bukanlah takaran utama, karena berada di komunitas yang tepat bisa menjadi kunci penting meraih Nobel.
“Anda harus tahu persoalan apa yang penting. Itu bukan hal trivial loh. Jadi berada dalam komunitas yang tepat itu membuat kita terekspose akan pertanyaan apa yang penting dan progres seperti apa yang sudah dilakukan periset-periset sekitaran pertanyaan tersebut, yang letaknya ada di grup riset tertentu, di conference tertentu, yang hanya bisa diakses kalau kita ada di sana” ucap Bagus kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Bagus juga menyebut fasilitas riset menjadi faktor lainnya. Fasilitas untuk menggelar riset tentu bisa memudahkan peneliti memecahkan sesuatu dan lebih dekat dengan penghargaan Nobel. Hanya saja, Indonesia masih kurang dalam hal tersebut.
“Seperti particle physics misalnya, kita mau mengadakan riset di CERN atau di large hadron collider. Kita enggak punya large hadron collider di sini, di mana kita mau menemukan partikel baru kan? Pergi ke Singapura kan. Ya tentu orang Singapura punya kans lebih besar untuk advance di situ ya.menemukan partikel baru, pergi ke Singapura. Jadi lack of facility (kurangnya fasilitas), lack of exposure to the standard of Nobel prize winning physicist in general (kurangnya eksposur secara umum) ini yang membuat kita belum terkenal dan ini adalah PR bagi diaspora akademik seperti saya bahkan yang jauh lebih senior dari saya untuk menjembatani riset,” ujarnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News