Terletak di Kecamatan Cimahi Selatan, Desa Cireundeu dikenal sebagai kampung adat yang kaya akan budaya dan tradisi unik. Tidak hanya mempertahankan nilai-nilai leluhur, masyarakat Cireundeu juga dikenal inovatif dalam memanfaatkan singkong sebagai makanan pokok pengganti beras.
Inovasi ini tidak hanya menjadi solusi ketahanan pangan, tetapi juga mencerminkan hubungan harmonis masyarakat dengan alam.
Masyarakat Desa Cireundeu memegang teguh filosofi hidup yang diwariskan secara turun-temurun:
"Teu boga sawah asal aya pare, teu boga pare asal aya beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat."
Artinya, kehidupan tetap bisa berjalan selama ada bahan pangan, meskipun tidak berupa beras. Filosofi ini melahirkan inovasi rasi, yaitu beras yang terbuat dari singkong. Singkong dipilih karena lebih mudah dibudidayakan, tidak memerlukan lahan luas seperti sawah, dan lebih ramah lingkungan.
Rasi tidak hanya menjadi identitas masyarakat Cireundeu, tetapi juga menjadi alternatif pangan yang kaya serat, sehat, dan tahan lama. Di era modern, diversifikasi pangan seperti rasi menjadi salah satu solusi menghadapi tantangan krisis pangan global dan menjaga kelestarian lingkungan.
Berkunjung ke Desa Sinar Bandung di Lampung, 90 Persen Warganya Sunda dan Pecinta Persib
Tradisi ini juga menjadi bukti bahwa kearifan lokal dapat menjadi inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Tidak hanya dalam pangan, Desa Cireundeu juga menjaga tradisi lain yang tak kalah penting, yaitu pelestarian leuweung atau hutan adat. Masyarakat setempat memiliki tiga jenis hutan adat, masing-masing dengan fungsi dan aturan yang berbeda:
- Leuweung Larangan: Kawasan hutan yang sepenuhnya dilindungi dan tidak boleh disentuh manusia.
- Leuweung Tutupan: Hutan yang hanya boleh digunakan untuk kebutuhan mendesak, seperti pengobatan.
- Leuweung Baladahan: Hutan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mencari kayu bakar.
Masyarakat percaya bahwa hutan adalah indung (ibu) bagi kehidupan manusia. Karena itu, ada aturan ketat bagi siapa pun yang ingin memasuki hutan adat. Salah satu larangan adalah tidak memakai alas kaki.
Dengan berjalan tanpa alas kaki, masyarakat percaya mereka dapat merasakan energi bumi dan menjaga hubungan spiritual dengan alam.
Selain itu, warna merah juga dilarang dikenakan di dalam hutan, karena melambangkan nafsu dan amarah, yang dianggap dapat memicu perilaku tidak hormat seperti menebang pohon sembarangan atau berburu satwa liar.
Mengenal Cihapit, Tempat Wisata Kuliner di Kota Bandung dengan Ragam Sejarahnya
Sebelum memasuki kawasan hutan adat, masyarakat biasanya memainkan karinding, alat musik tradisional Sunda. Suara karinding dipercaya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan para penghuni hutan.
Tradisi ini menggambarkan harmoni antara manusia, budaya, dan lingkungan yang menjadi ciri khas masyarakat Cireundeu.
Bagi Kawan GNFI yang berkunjung, Desa Cireundeu menawarkan pengalaman edukasi yang unik. Kawan dapat belajar tentang inovasi pangan berbasis singkong, seperti rasi, dan mencoba berbagai olahan singkong lainnya seperti opak, keripik, atau tape yang cocok dijadikan oleh-oleh.
Desa ini juga menjadi destinasi yang sempurna untuk mengenal lebih dalam tentang kearifan lokal masyarakat adat Sunda.
Dengan perpaduan tradisi, inovasi, dan filosofi hidup yang ramah lingkungan, Desa Cireundeu bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Tak hanya menikmati keindahan budaya, Kawan juga diajak memahami cara hidup yang sederhana, berkelanjutan, dan penuh makna.
Bagi Kawan yang mencari destinasi wisata edukasi di sekitar Bandung, Desa Cireundeu adalah pilihan yang tepat. Kampung adat ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga menghadirkan pengalaman unik yang akan meninggalkan kesan mendalam. Temukan keindahan budaya lokal yang berpadu dengan semangat menjaga kelestarian lingkungan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News