Radio memainkan peranan yang vital selama era kolonial Belanda sebagai sarana komunikasi jarak jauh karena keterbatasan media yang tersedia. Di Indonesia, terdapat sebuah stasiun radio yang pada masanya diakui sebagai stasiun radio terbesar di Asia Tenggara dan terkenal karena pengembangan sistem sinyal tanpa kabel (nirkabel) yang menghubungkan komunikasi antar negara.
Stasiun radio ini disebut Stasiun Radio Malabar. Nama Malabar diambil dari lokasi geografis stasiun radio ini yang berada di Lembah Gunung Puntang (Malabar), Bandung.
Awal Mula Pembangunan Stasiun Radio Malabar
Pembangunan stasiun radio Malabar berlangsung dari tahun 1916 hingga 1923. Proses awal dimulainya pembangunan stasiun ini terjadi ketika Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot diangkat sebagai insinyur di Departemen PTT (Pos Telepon dan Telegraf), diikuti oleh dua pria Belanda, Willem Vogt dan Klass Dijkstra, yang juga membantu de Groot mendirikan stasiun radio Malabar pada tahun 1908.
Untuk membangun Stasiun Radio Malabar, mereka mulai melakukan pengujian dengan memasang lampu busur, menempatkan antena, hingga melakukan uji coba untuk meningkatkan kualitas komunikasi radio.
Pada saat itu, alat pemancar yang digunakan adalah jenis pemancar lampu busur, yang berfungsi mengirim sinyal telegraf nirkabel untuk berbagai tujuan, seperti untuk komunikasi antara kapal di laut dan daratan, komunikasi militer, serta komunikasi antara stasiun radio di berbagai lokasi.
Dalam merancang pemancar radio, de Groot telah memikirkan penggunaan pembangkit listrik, mengingat lokasi pembangunan radio yang jauh dari kota. Untuk menyempurnakannya, pembangkit listrik di Batavia memberikan dukungan berupa dinamo berkapasitas 600 volt. Dari berbagai perencanaan, perakitan, dan peningkatan kualitas komunikasi antara dua negara, akhirnya, pengiriman radio berhasil dilakukan.
Pada tahun 1923, suara pertama yang diterima berasal dari Stasiun Radio Kootwijk yang terletak di Belanda, dan sinyalnya diterima oleh Stasiun Radio Tjangkring. Suara yang pertama kali diterima memiliki panjang gelombang 8.400 meter yang berasal dari staf Radio Kootwijk.
Ini menjadi terobosan baru dalam dunia komunikasi radio, di mana pesan telegraf yang diterima melalui jaringan nirkabel datang 24 jam lebih cepat dibandingkan pesan yang dikirim melalui jaringan kabel.
Stasiun Radio Tjangkring berfungsi sebagai stasiun tambahan bagi Stasiun Radio Malabar, di mana Malabar berperan sebagai pengirim dan Tjangkring sebagai penerima. Dulunya, kedua stasiun radio ini berperan sebagai pusat komunikasi yang menghubungkan Jawa dengan daerah-daerah di luar jangkauan Hindia Belanda.
Isi pesan dalam Stasiun Radio Malabar beragam, mencakup laporan tentang ekonomi, politik, sosial, iklim atau cuaca, serta komunikasi antar kapal milik Belanda. Bahkan kapal selam Belanda, 'K XVIII' juga menerima informasi dari Radio Malabar ini. Bahasa yang digunakan adalah Belanda atau Inggris, dan kadang-kadang memakai kode dan sandi khusus agar tidak mudah dimengerti oleh pihak yang tidak berwenang.
Lalu lintas komunikasi antara Kootwijk dan Malabar dibuka pada 7 Januari 1929, saat pemerintah Belanda memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk berkomunikasi dengan keluarga.
Momen legendaris dari komunikasi ini adalah ketika Ratu Wilhelmina (Ratu Emma) menyampaikan kata-kata pembuka: “Hallo Bandung! Hallo Bandung! Hoort u mij? Dit is Den Haag!”. Setelah komunikasi berlangsung dengan baik, pemerintah Hindia Belanda menggunakan radio suara ini untuk berbincang dengan kerabat mereka di Eropa.
Peran Radio dalam Menggelorakan Semangat Proklamasi Kemerdekaan
Akhir Pengoperasian Stasiun Radio Malabar
Masa kejayaan Stasiun Radio Malabar mulai memudar akibat Perang Dunia II. Radio Malabar menghadapi berbagai rintangan seperti kerusakan dan keterbatasan dalam teknologi komunikasi serta kurangnya tenaga terampil di bidang penyiaran.
Keadaan semakin buruk dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942 yang mulai menguasai fasilitas yang sebelumnya dioperasikan oleh Belanda. Stasiun Radio Malabar yang dimiliki Belanda juga tidak kebal dari serangan Jepang, hingga pada 5 Maret 1942, pasukan Jepang berhasil merebut stasiun ini dari kontrol Belanda dan menggunakannya sebagai stasiun radio militer untuk memperkuat komunikasi mereka selama Perang Dunia II.
Namun, situasi ini tidak bertahan lama karena dua tahun kemudian Jepang mengalami kekalahan di Perang Pasifik, yang mengakibatkan mereka meninggalkan Hindia Belanda. Hal ini dimanfaatkan oleh pemuda lokal dari dinas pos telegram dan telepon (PTT) untuk merebut kembali Stasiun Radio Malabar dari Jepang dan kemudian menjalin kerja sama dengan pemuda PTT yang menguasai pemasaran radio, mengingat saat itu terjadi kekosongan dalam kekuasaan.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Stasiun Radio Malabar sengaja dihancurkan oleh warga setempat dengan alasan agar tidak dapat digunakan lagi oleh Belanda yang berusaha menjajah Indonesia sekali lagi, dikenal sebagai Agresi Militer.
Itulah riwayat dan perkembangan Radio Malabar di Indonesia. Seperti yang telah diketahui oleh Kawan GNFI, saat ini Stasiun Radio Malabar sudah tidak berfungsi lagi, tetapi dianggap simbol warisan kolonialisme Belanda, dan upaya untuk melestarikan sejarahnya tetap dilakukan mengingat potensi untuk menjadi destinasi wisata di Jawa Barat, karena memiliki nilai sejarah yang sangat besar.
Sejarah Hari Ini (11 September 1945) - Lahirnya Radio Republik Indonesia
Referensi :
Sakinah, A. H., dkk. (2023). Radio Malabar: Dunia Radio Tersembunyi di Lembah Pegunungan Malabar, Bandung, 1916-1946. Jazirah (Jurnal Peradaban dan Kebudayaan).
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News