Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar tentang Jepang? Teknologi canggih, budaya yang kaya, atau mungkin keduanya?
Pada Kamis, 28 November 2024, GNFI mengajak lebih dari 60 Kawan GNFI untuk merasakan pengalaman langsung dalam Embassy Visit perdana ke Kedutaan Besar Jepang di Jakarta!
Acara ini merupakan kolaborasi antara GNFI, Seasia, dan Kedutaan Besar Jepang. Di acara ini, peserta tidak hanya diajak mengenal teknologi mutakhir Jepang, tetapi juga menyelami kebiasaan yang telah menjadi bagian dari budaya negeri Sakura.
Mengenal Budaya Jepang dalam Keseharian
Dalam acara ini, peserta diajak menyelami budaya Jepang melalui video interaktif yang menarik. Video ini mengungkapkan kebiasaan unik seperti penggunaan oshibori, handuk kecil lembap yang disajikan sebagai simbol keramahan (omotenashi) khas Jepang.
Tidak hanya itu, peserta juga belajar tentang cara orang Jepang menghargai makanan, termasuk inovasi food paper, teknologi pengawetan makanan yang lahir dari semangat anti pemborosan.
Video ini ditutup dengan penjelasan etika penggunaan sumpit—alat makan sehari-hari yang ternyata memiliki aturan khusus, seperti larangan berbagi makanan dari sumpit ke sumpit atau menusuk makanan dengan sumpit. Bahkan, sumpit di Jepang dibuat oleh pengrajin khusus dari kayu pilihan, menambah nilai seni dalam budaya sederhana ini.
Sejalan dengan itu, Kubo Ryutaro, Atase Pers Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, menekankan pentingnya budaya sebagai alat untuk memahami satu sama lain. "Ketika kita bisa memahami budaya orang lain, kita bisa memahami cara pikir orang lain," ujarnya.
Fun Fact Budaya Jepang yang Jarang Diketahui
Tahukah kamu bahwa orang Jepang sebenarnya tidak makan sushi setiap hari?
Dalam sesi interaktif Embassy Visit, Mr. Ryutaro mengungkapkan fakta menarik bahwa orang Jepang lebih sering menikmati sushi pada momen spesial, seperti perayaan tertentu. Hal ini tentu menambah perspektif baru tentang budaya kuliner Jepang yang sering kita bayangkan.
Tak kalah seru, sesi sharing juga membuka diskusi tentang isu “ugly food”—makanan dengan bentuk kurang menarik. Salah satu peserta, Gill, bertanya bagaimana Jepang mengelola makanan semacam ini.
Mr. Ryutaro menjelaskan bahwa orang Jepang memiliki prinsip untuk memanfaatkan segala sesuatu sebaik mungkin, termasuk ugly food. Alih-alih membuangnya, makanan ini dijual dengan harga lebih murah di platform seperti Carousel atau tempat lain.
Menambahkan pandangan ini, Ken Furusawa, seorang diplomat muda Jepang, menjelaskan, “Orang Jepang, meskipun tidak semuanya, banyak yang melihat makanan berdasarkan gizinya. Jadi, bukan dari bentuknya.”
Pernyataan ini memperkuat budaya Jepang yang menghargai fungsi dan manfaat makanan di atas penampilan, sebuah filosofi yang relevan dalam mendukung pengelolaan pangan berkelanjutan.
Bagaimana Indonesia di Mata Orang Jepang?
Jika di Indonesia budaya Jepang sudah sangat populer, bagaimana dengan sebaliknya—sejauh mana budaya Indonesia dikenal di Jepang?
Menariknya, meskipun pengaruhnya belum sebesar budaya negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Vietnam, potensi budaya Indonesia untuk berkembang di Jepang tetap terbuka lebar.
Mr. Furusawa menjelaskan bahwa di Jepang, jumlah restoran Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan restoran Thailand dan Vietnam. Namun, perkembangan seni budaya Indonesia, seperti musik dan tarian tradisional, mulai mendapatkan perhatian lebih besar dari masyarakat Jepang. “Masih bisa berpotensi berkembang lebih besar,” tambahnya.
Selain itu, Mr. Ryutaro mengungkapkan bahwa budaya Indonesia sebenarnya telah mulai memasuki kehidupan masyarakat Jepang melalui berbagai media. Salah satu contohnya adalah majalah wisata populer bernama Jalan-jalan, yang meskipun tidak secara eksplisit mengenalkan Indonesia, secara tidak langsung memperkenalkan nuansa wisata khas Tanah Air.
Bahkan, industri televisi dan konten digital Jepang secara aktif memproduksi program yang memperkenalkan keindahan Indonesia. “Banyak juga yang mengirimkan staf ke Indonesia untuk memperluas pengetahuan tentang Indonesia bagi orang Jepang,” ujar Mr. Ryutaro.
Belajar Furoshiki di Embassy Visit
Acara Embassy Visit perdana GNFI ditutup dengan workshop yang tak kalah menarik, yakni pembuatan furoshiki—seni tradisional Jepang dalam membungkus barang menggunakan kain. Seni ini memiliki banyak fungsi, mulai dari mengemas kado, bento, hingga seserahan, sekaligus mencerminkan nilai estetika dan keberlanjutan.
Kawan GNFI mengikuti workshop ini dengan penuh antusiasme, bahkan tak sabar memamerkan hasil furoshiki mereka begitu selesai.
Jangan lewatkan program Embassy Visit GNFI berikutnya—siapa tahu, kamu bisa menjadi bagian dari perjalanan seru!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News