batombe tradisi lisan dari minangkabau yang sarat nilai budaya - News | Good News From Indonesia 2024

Batombe, Tradisi Lisan dari Minangkabau yang Sarat Nilai Budaya

Batombe, Tradisi Lisan dari Minangkabau yang Sarat Nilai Budaya
images info

Kawan GNFI, Minangkabau tidak hanya terkenal dengan adat istiadat dan kebudayaannya yang kaya, tetapi juga memiliki tradisi lisan yang unik dan penuh makna. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Batombe, seni berbalas pantun khas Nagari Abai, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.

Dalam kesenian ini, pantun yang penuh dengan nasihat, semangat, dan cerita kehidupan sehari-hari didendangkan secara bergantian oleh para pendendang.

Penasaran bagaimana tradisi Batombe dapat terus hidup di tengah masyarakat Minangkabau? Yuk, simak lebih lanjut!

Apa itu Batombe?

Batombe adalah tradisi berbalas pantun yang diiringi oleh musik rabab, dilakukan oleh dua kelompok pendendang, baik pria maupun wanita. Pantun yang disampaikan dalam Batombe menggambarkan berbagai aspek kehidupan, termasuk cinta, kesedihan, semangat, serta nasihat moral.

Tradisi lisan ini tidak hanya berperan sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan moral dan memperkuat semangat kebersamaan serta gotong royong di masyarakat.

Nama "Batombe" berasal dari dua kata, yaitu "ba" yang merupakan awalan dalam bahasa Minangkabau, dan "tombe" yang berarti pantun. Dengan demikian, Batombe secara harfiah bermakna "berpantun".

Kesenian ini menjadi salah satu warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan dan musyawarah, sesuai dengan makna kata "tombe" itu sendiri yang juga dapat diartikan sebagai tonggak atau tiang, musyawarah, dan persatuan.

Sejarah dan Asal Usul Batombe

Belum ada catatan yang jelas mengenai awal mula munculnya tradisi Batombe. Namun, berdasarkan cerita yang berkembang di tengah masyarakat Nagari Abai, tradisi ini bermula dari kebiasaan gotong royong dalam membangun rumah gadang atau masjid.

Konon, ketika masyarakat sedang bekerja mengangkat kayu dari hutan untuk tiang rumah gadang, mereka mengalami kesulitan karena kayu tersebut sangat berat dan sulit digerakkan.

Setelah berbagai upaya dilakukan dan mereka mulai merasa putus asa, para perempuan yang bertugas menyediakan makanan bagi para pekerja mencoba membangkitkan semangat mereka dengan berpantun. Pantun-pantun yang dilantunkan oleh para perempuan kemudian direspons oleh para pria yang sedang bekerja. Secara ajaib, semangat mereka kembali, dan kayu yang sebelumnya sulit diangkat mulai bisa dipindahkan sedikit demi sedikit.

Sejak saat itu, tradisi berbalas pantun ini menjadi bagian dari kegiatan gotong royong di Minangkabau, terutama dalam kegiatan-kegiatan bersama yang melibatkan banyak orang. Dari gotong royong, Batombe terus berkembang hingga menjadi salah satu tradisi yang selalu hadir dalam perhelatan-perhelatan adat, seperti pernikahan, batagak penghulu, dan menyambut tamu.

Proses Pelaksanaan Batombe

Dalam pelaksanaannya, Batombe tidak hanya sekadar pertunjukan berbalas pantun, tetapi juga menjadi bentuk interaksi sosial yang melibatkan seluruh masyarakat. Pemilik acara atau sipangkalan bertanggung jawab atas persiapan pelaksanaan Batombe, mulai dari menyiapkan tempat, mengundang warga, hingga membicarakan izin dengan para penghulu.

Persiapan acara biasanya dimulai jauh hari sebelumnya, melalui musyawarah yang melibatkan rajo tigo selo, alim ulama, dan cerdik pandai. Masyarakat setempat menyebut pertemuan ini sebagai duduak urang tuo.

Saat acara dimulai, para pendendang akan mulai melantunkan pantun secara spontan, tanpa panduan teks. Meskipun musik pengiringnya cenderung monoton, Batombe tetap menarik perhatian banyak penonton karena pantun yang dilantunkan sering kali menggambarkan situasi faktual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak jarang, penonton pun terlibat langsung dalam berbalas pantun, menambah suasana keakraban di tengah pertunjukan.

Dalam Batombe, siapapun bisa menjadi pendendang, tidak ada batasan usia yang ditentukan. Baik remaja maupun orang dewasa bisa ikut serta, asalkan mereka memiliki kemampuan berpantun yang baik.

Kemampuan ini biasanya didapatkan melalui kebiasaan menonton pertunjukan Batombe dan mencoba mempraktekkannya. Pendendang laki-laki juga biasanya merangkap sebagai pengiring musik rabab, karena pengiring dalam tradisi ini lebih akrab dengan alat musik tersebut.

Fungsi Sosial dan Hiburan dalam Batombe

Kawan GNFI, di masa lalu, Batombe berperan penting sebagai sarana untuk membangkitkan semangat dalam berbagai kegiatan gotong royong. Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi Batombe berkembang menjadi bentuk hiburan sosial yang dinikmati oleh masyarakat dalam berbagai perhelatan adat. Pantun-pantun yang didendangkan tidak lagi terbatas pada pesan-pesan moral atau nasihat, tetapi juga semakin beragam mengikuti perkembangan zaman.

Batombe menjadi media ekspresi diri, tempat di mana para pendendang dapat mencurahkan perasaan mereka melalui pantun. Dengan iringan musik rabab dan tari-tarian sederhana, Batombe menciptakan suasana yang hangat dan penuh semangat.

Hal inilah yang membuat para masyarakat yang menonton betah untuk berlama-lama menyaksikan pertunjukan ini. Batombe juga menjadi alat untuk memperkuat ikatan persaudaraan di tengah masyarakat, karena tradisi ini sering kali melibatkan banyak orang, baik sebagai pendendang maupun penonton.

Busana dan Pertunjukan Batombe

Pertunjukan Batombe biasanya berlangsung pada malam hari, mulai dari pukul 21.00 hingga dini hari. Para pendendang, baik laki-laki maupun perempuan, mengenakan pakaian khusus yang sekilas mirip dengan pakaian kesenian silek, lengkap dengan baju guntiang cino dan celana galombang tapak itiak. Pakaian ini memiliki hiasan benang emas di bagian leher dan lengan, yang membedakannya dengan pakaian silek.

Biasanya, perempuan mengenakan pakaian dengan warna cerah seperti merah, hijau, atau hitam, dilengkapi ikat kepala berwarna kuning keemasan dan kain sisampiang yang terikat pada pinggang.

Dalam pertunjukan, pendendang berbalas pantun sambil menari dalam formasi melingkar, mengikuti irama musik yang semakin lama semakin cepat. Pada malam yang semakin larut, pantun yang didendangkan sering kali beralih ke tema percintaan, menciptakan suasana yang lebih intim dan mengundang penonton untuk ikut bergabung dalam balas pantun.

Pelestarian Batombe di Masa Kini

Meski zaman terus berubah, Batombe tetap dihargai sebagai warisan budaya yang penting bagi masyarakat Minangkabau. Tradisi ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas sosial dan kultural Nagari Abai. Oleh karena itu, upaya pelestarian Batombe terus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah.

Namun, Batombe juga menghadapi tantangan di era modern ini, di mana budaya tradisional sering kali terpinggirkan oleh arus globalisasi. Meskipun demikian, dengan modifikasi yang sesuai, seperti pengembangan musik pengiring dan variasi tema pantun, Batombe tetap relevan dan dapat dinikmati oleh generasi muda.

Kawan GNFI, Batombe bukan sekadar tradisi berbalas pantun, melainkan cerminan dari nilai-nilai gotong royong, persatuan, dan musyawarah yang masih hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Dengan mempertahankan tradisi ini, kita juga berperan dalam melestarikan kekayaan budaya Indonesia yang sarat makna. Batombe bisa menjadi contoh bagi kita semua dalam menjaga keharmonisan dan kebersamaan di tengah perkembangan zaman.

 

Sumber artikel:

  1. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/batombe-tradisi-berbalas-pantun-di-minangkabau/
  2. https://www.rri.co.id/features/973233/batombe-tradisi-lisan-dari-solok-selatan-yang-masih-diminati
  3. https://westsumatra360.com/berbalas-pantun-pada-tradisi-batombe-nagari-abai/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.