paksi raras alit ceritakan lahirnya hanacaraka ada dua versi - News | Good News From Indonesia 2024

Paksi Raras Alit Ceritakan Lahirnya Hanacaraka, Ada Dua Versi

Paksi Raras Alit Ceritakan Lahirnya Hanacaraka, Ada Dua Versi
images info

Paksi Raras Alit adalah seniman serba bisa dari Kota Yogyakarta yang tak asing namanya di dunia seni dan kesusastraan. Fokus utamanya ialah terkait pelestarian kejawaan, baik dari tradisi hingga kebudayaannya.

Sosok lulusan Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) itu kini dikenal juga sebagai pelestari seni dan budaya Jawa. Lewat komunitas Jawacana, ia menghadirkan sejumlah program agar nilai-nilai kejawaan tidak luntur ditelan zaman.

Di Jawacana, Paksi dan kawan-kawannya mengenalkan aksara Jawa atau hanacaraka secara gratis. Tidak hanya menggelar kelas bahasa, tetapi sejarah-sejarah kemunculannya juga dipaparkan.

Dua Versi

Sepekan sekali Jawacana rutin menggelar kegiatan pengenalan aksara Jawa. Ketika kelas dibuka, pertanyaan yang sering muncul dari peserta ialah “Sejak kapan aksara tersebut diperkenalkan di tanah Jawa?”.

Menurut Paksi, ada dua versi sejarah tentang kemunculan aksara Jawa. Yang pertama dari sisi folklor yaitu dari legenda pemuda sakti Aji Saka yang menuliskan baris puisi hanacaraka untuk dua pengawalnya yang gugur karena perselisihan. Lalu yang kedua, adalah versi yang lebih ilmiah bahwa aksara Jawa adalah turunan dari kasara Jawa kuno, bahasa sansekerta, dan dicampur dengan serapan bahasa Arab.

“Dua versi ini masih bertahan,” ucap Paksi kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.

Terus bertahannya perspektif sejarah yang berbeda adalah suatu yang biasa di tanah Jawa. Paksi lantas memberikan contoh lain ke sejarah pendirian candi Prambanan.

Kisah kerakyatan memang ada dalam pendirian candi yang terletak di perbatasan Kota Yogyakarta dan Klaten tersebut. Hanya saja, versi tersebut tidak masuk akal jika dipandang dari sudut keilmiahan. Namun, baik versi folklor maupun ilmiah, keduanya tetap langgeng ada dan itu sama halnya dengan sejarah aksara Jawa.

“Dua versi ini meskipun masing-masing kemudian pada akhirnya kontradiktif, tetapi ternyata hari ini masih hidup. Dalam kesusastraan Jawa sendiri versi cerita Aji Saka itu bahkan muncul dalam Serat Aji Saka, tapi cerita ilmiahnya juga masih lestari. Seperti Prambanan, ‘Wah, yang versi Bandung Bondowoso itu salah’. Tapi nyatanya masih hidup dan bahkan setiap malam masih ditarikan di area Sendratari Roro Jonggrang,” ungkap Paksi.

Paksi menilai tidak menggugurkan dua perspektif berbeda adalah kebiasaan unik dari orang Jawa. Keduanya bisa jalan beriringan dan terus dipercayai meskipun jelas kontradiktif.

“Ini salah satu sifat dan sikap orang Jawa bisa mempertahankan hal-hal yang kontradiktif ini. Ya ngono ya ngono aja ngono. Ora percaya sing ilmiah tok, tapi sing iya diuri-uri. Sikap ambivalen atau menduanya orang Jawa ini yang unik,” ucap Paksi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dimas Wahyu Indrajaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dimas Wahyu Indrajaya.

DW
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.