kain tenun toraja warisan spesial dari negeri atas - News | Good News From Indonesia 2024

Kain Tenun Toraja, Warisan Spesial dari "Negeri Atas"

Kain Tenun Toraja, Warisan Spesial dari "Negeri Atas"
images info

Bicara soal wilayah dan suku Toraja, hal-hal top of mind yang umumnya muncul adalah Rumah Adat Tongkonan, seni ukir, atau pemakaman yang unik. Belakangan, daftar populer itu bertambah, seiring naiknya popularitas kopi Arabika Toraja. 

Semuanya benar dan memang sudah populer bahkan sampai mancanegara. Maklum, daerah Tana Toraja sudah lama menjadi salah satu ikon pariwisata Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya sejak tahun 1980-an. 

Nooy-Palm (1975) menyebut, secara etimologis, nama Toraja berasal dari gabungan dua kosakata bahasa Bugis, yakni To dan Riaja, yang berarti "orang yang tinggal di negeri atas". Nama Toraja sendiri diberikan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1909, dan nama ini terus bertahan hingga sekarang.

Meski punya beberapa ciri khas populer, ternyata masih ada satu ciri khas Suku Toraja, yang relatif belum dikenal luas, yakni kain tenun. Kain tenun Toraja antara lain bisa dijumpai di kampung wisata Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, yang terkenal sebagai sentra penghasil kerajinan tenun. 

Kain Tembe, Potret Sebuah Perjalanan Panjang

Kain tenun menjadi salah satu produk kerajinan tradisional khas suku Toraja, yang tersebar di Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Mamasa, dan Kabupaten Tana Toraja. Berciri khas kombinasi warna-warna cerah dalam satu garis tipis panjang, kain tenun Toraja mempunyai panjang 3-4 meter per lembarnya.

Secara teknis, proses pewarnaannya masih menggunakan bahan alami, dan hanya bisa diolah secara tradisional. Alhasil, warna kain tenun Toraja umumnya terdiri dari ragam warna alami, seperti jingga, merah, hitam, biru dan kuning.

Karena menggunakan metode tradisional, proses pembuatan kain ini perlu waktu lama. Teknik pembuatannya pun cukup sulit, karena benang-benang yang ditenun, ditarik bergantian secara manual, diantara bilah-bilah kayu.

Marante (2018) menyebut, kain tenun adalah satu elemen penting dalam kehidupan orang Toraja, karena biasa digunakan dalam upacara keagamaan atau adat, misalnya Rambu Solo (upacara kematian) dan Rambu Tuka (upacara pesta syukuran).

Dalam keseharian suku Toraja, khususnya di masa lalu, motif pada kain tenun biasa menjadi satu tanda khusus, yang membedakan kalangan bangsawan dan masyarakat biasa.

Dalam keseharian, motif pa’buntu batik, pa’sekong kandaure, dan pa’baranarombe biasanya digunakan kalangan bangsawan. Motif pa’tangke lumu dan passora dipakai kalangan masyarakat biasa.

Secara umum, kain tenun Toraja terdiri dari 2 jenis kain, yaitu kain paruki dan kain sarita. Kain paruki mendapat namanya dari teknik pembuatannya. 

Secara khusus, Ikramah dan Puspitasari (2022) menyebut, kain paruki juga menggambarkan ikatan kekerabatan di suku Toraja. Kain sarita hanya boleh dikenakan oleh pemuka adat dan pemuka agama, sehingga dianggap sakral. 

Corak motif kain tenun paruki mirip hiasan ukiran khas Toraja, yang dikenal dengan sebutan pa'sekong kandaure. Motif ini melambangkan kebesaran perempuan Toraja, dan biasa digunakan sebagai selubung peti jenazah pada upacara adat Rambu Solo

Berbeda dengan kain paruki, kain sarita punya corak motif lebih beragam. Ada motif hewan (umumnya kerbau, ayam, dan babi), motif ukiran matahari, maupun motif tau-tau. Motif-motif tersebut melambangkan status sosial atau tingkat kesejahteraan ekonomi si pemilik kain. 

Di era kekinian, kain tenun Toraja telah beradaptasi dengan perkembangan zaman, lewat modifikasi ragam bentuk dan fungsi. Adaptasi ini terjadi karena kain tenun sudah berkembang menjadi ciri khas etnik dan oleh-oleh khas Toraja. 

Selain berbentuk kain, produk tenun Toraja juga dibuat dalam aneka bentuk, seperti wadah alat tulis, dan kotak perhiasan. Harga jualnya pun bervariasi, mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah, tergantung dari ukuran, bentuk, tingkat kesulitan, dan lama pembuatannya.

Kain Tenun Rote Ndao, Sepotong Keunikan di Ujung Selatan Nusantara

Meski sudah beradaptasi di era modern, antara lain lewat perubahan fungsi dan modifikasi ragam bentuk, bukan berarti kain tenun Toraja bebas tantangan. Tantangan ini berkaitan dengan kelestarian kain tenun Toraja dalam jangka panjang.

Metode pembuatan dan pengolahan bahan, yang hanya bisa dilakukan secara tradisional, membuat generasi muda cenderung kurang berminat. Apa boleh buat, regenerasi pengrajin kain tenun Toraja pun kurang lancar. 

Maka, ketika pemerintah, dalam hal ini Kemenpar, mengembangkan desa wisata di Kabupaten Tana Toraja, seperti di Desa Desa Wisata Tumbang Datu dan Saluallo, langkah ini layak diapresiasi. Ada upaya nyata menjaga kelestarian salah satu warisan budaya Nusantara, yang bahkan bisa berkembang menjadi komoditas pariwisata lokal. Jadi, masyarakat setempat dapat terus melestarikan warisan budaya leluhur, sekaligus diberdayakan olehnya. 

Referensi:

  • Marante, R. T. (2018). FUNGSI DAN MAKNA SIMBOLIK MOTIF KAIN TENUN TRADISIONAL TORAJA (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR).
  • Ikramah, N., & Puspitasari, F. (2022). Revitalisasi Penggunaan Kain Motif Toraja Sebagai Party Dress Feminim Romantic Style. Jurnal Da Moda, 3(2), 79-85.
  • Nooy-Palm, Hetty (1975). "Introduction to the Sa'dan People and their Country". Archipel. 15: 163–192.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.