Danau Sicike-cike merupakan salah satu taman wisata alam yang ada di Sumatra Utara, khususnya di Desa Lae Hole, Parbuluan, Kabupaten Dairi. Terdapat sebuah legenda yang menceritakan tentang asal usul Danau Sicike-cike ini dan diwariskan masyarakat setempat secara turun temurun.
Bagaimana kisah lengkap dari legenda Danau Sicike-cike tersebut?
Legenda Danau Sicike-cike
Dilansir dari artikel Nadya Dwi Pradila, Elpionita Matanari, dan Sartika Sari yang berjudul "Eksplorasi Legenda Danau Sicike-Cike Dan Transformasinya Menjadi Naskah Drama," dikisahkan pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang bernama Raja Naga Jambe. Raja ini memiliki dua orang istri yang bernama Berru Seraan dan Berru Padang.
Sang raja memiliki tujuh orang anak dari kedua istrinya tersebut. Pernikahannya dengan Berru Seraan mendapatkan tiga orang anak, yakni Raja Angkat, Raja Udjung, dan Raja Bintang.
Sementara itu, sang raja mendapatkan empat orang anak dari istri keduanya. Keempat anak raja dari pernikahannya dengan Berru Padang adalah Raja Capah, Raja Manik, Raja Kudadiri, dan Raja Sinamo.
Raja ini memimpin daerah penuh dengan lahan pertanian yang subur. Biasanya dirinya akan mengajak seluruh rakyatnya untuk memanen bersama-sama ketika musim panen telah tiba.
Hari yang ditunggu pun tiba. Padi-padi yang ada di wilayah tersebut sudah menguning dan siap untuk dipanen.
Sang raja kemudian memerintahkan ketujuh anaknya untuk mengumpulkan semua warga di lapangan. Ketujuh anak tersebut mematuhi perintah sang ayah dan mendatangi rumah warga satu per satu.
Seluruh masyarakat yang ada di wilayah tersebut akhirnya berkumpul di lapangan yang sudah ditetapkan raja. Sang raja kemudian mengumumkan kepada masyarakat bahwa besok mereka akan pergi memanen padi bersama-sama.
Sang raja menyuruh seluruh masyarakat untuk melakukan persiapan yang matang. Sebab mereka akan meninggalkan rumah selama beberapa hari ke depan untuk menyelesaikan panen padi di wilayah tersebut.
Kabar perginya seluruh masyarakat ini sampai di telinga Berru Seraan. Sang ratu kemudian meminta kepada raja untuk ikut juga dalam kegiatan panen tersebut.
Namun permintaan Berru Seraan tidak dipenuhi sang raja. Kondisi Berru Seraan yang sudah tua dan sakit-sakitan menjadi alasan mengapa sang raja melarang istri pertamanya tersebut untuk ikut serta.
Alhasil Berru Seraan tinggal sendirian ketika seluruh masyarakat pergi ke sawah untuk memanen padi bersama sang raja. Panen mereka kali ini sangat melimpah ruah sehingga menyenangkan hati sang raja beserta seluruh masyarakat.
Selang beberapa hari ketika proses memanen dilakukan, muncul seekor rusa besar yang melintasi daerah persawahan tersebut. Raja Naga Jambe melihat rusa ini dan memerintahkan seluruh masyarakat untuk memburunya.
Masyarakat kemudian berbondong-bondong mengejar rusa tersebut. Tidak butuh waktu lama, rusa besar tersebut berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan raja.
Melihat rusa tangkapan yang berukuran besar, para putra raja mengusulkan agar hewan buruan tersebut dijadikan hidangan makan saat pesta perayaan panen. Sang raja pun menyetujui usulan putranya ini dan mempersiapkan acara pesta sebagai wujud syukur atas hasil panen mereka.
Ketika pesta sedang berlangsung, sang raja kemudian teringat dengan Berru Seraan yang tinggal sendirian di rumah. Menurut kebiasaan setempat, setiap warga yang tinggal di kampung mereka mesti mendapatkan makanan ketika sebuah pesta diadakan.
Sang raja kemudian memerintahkan dua warganya, yakni Bonar dan Martua untuk menghantarkan sajian ini ke Berru Seraan. Bonar dan Martua kemudian berangkat pulang ke kampung untuk mengantarkan makanan tersebut.
Namun di tengah jalan, kedua warga ini ternyata tidak bisa menahan godaan untuk menyantap makanan yang mereka bawa. Akhirnya makanan tersebut habis tidak tersisa dan hanya menyisakan wadahnya saja.
Di sisi lain, Berru Seraan merasa kesepian tinggal sendirian di rumah. Dirinya mulai berpikir apakah sang raja beserta putranya hanya mementingkan kesenangan saat melakukan panen dan tidak memikirkannya.
Pikiran buruk Berru Seraan ini sempat hilang ketika melihat Bonar dan Martua datang membawa makanan. Namun situasi ini langsung berubah ketika dia mengetahui semua makanan yang dibawa kedua warganya tersebut sudah habis tidak tersisa.
Berru Seraan kemudian menjadi murka sekaligus merasa sedih. Dirinya kecewa dengan apa yang sudah dialaminya.
Tanpa sadar, Berru Seraan kemudian menangis tersedu-sedu. Tangisan Berru Seraan ini terus berlangsung dalam waktu lama.
Tidak lama kemudian, hujan deras disertai petir tiba-tiba muncul. Hujan deras ini terus turun bersamaan dengan jatuhnya air mata Berru Seraan.
Lama kelamaan, air hujan tersebut mulai merendam dan menenggelamkan kampung tersebut. Air genangan yang terus meninggi akhirnya merubah wilayah tersebut menjadi sebuah danau.
Daerah yang terendam air inilah yang diyakini sebagai asal usul Danau Sicike-cike yang bisa Kawan jumpai pada saat ini.
Sumber:
- Pradila, Nadya Dwi, Elpionita Matanari, dan Sartika Sari. "Eksplorasi Legenda Danau Sicike-Cike Dan Transformasinya Menjadi Naskah Drama." Jurnal Basataka (JBT) 4.2 (2021): 109-117.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News