mitos pertunjukan wayang kulit dalam tradisi apitan di semarang yang dipercaya mencegah pagebluk - News | Good News From Indonesia 2024

Mitos Pertunjukan Wayang Kulit dalam Tradisi Apitan di Semarang yang Dipercaya Mencegah Pagebluk

Mitos Pertunjukan Wayang Kulit dalam Tradisi Apitan di Semarang yang Dipercaya Mencegah Pagebluk
images info

Wayang Kulit merupakan salah satu contoh produk kesenian khas Indonesia yang berasal dari kebudayaan Jawa. Dalam praktiknya, wayang kulit ini tidak hanya terbatas pada pertunjukkan kesenian saja, tetapi terkadang juga mengandung cerita dan mitos yang berkaitan dengan produk budaya tersebut.

Salah satu contoh mitos yang berkaitan dengan wayang kulit ini bisa Kawan temukan dalam tradisi Apitan yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Pertunjukkan wayang kulit merupakan salah satu rangkaian yang wajib ditampilkan dalam helatan tradisi tersebut.

Kewajiban adanya pertunjukkan wayang kulit ini berkaitan dengan mitos yang berkembang di masyarakat setempat. Jika kewajiban ini tidak ditunaikan dalam pelaksanaan tradisi Apitan, maka masyarakat percaya akan ada bahaya yang akan terjadi akibat hal tersebut.

Lantas bagaimana penjelasan lebih lanjut terkait mitos pertunjukkan wayang kulit yang ada dalam tradisi Apitan tersebut?

Mitos Pertunjukan Wayang Kulit dalam Tradisi Apitan

Dikutip dari artikel Mita Puspita Sari dan Nugroho Trisnu Brata yang berjudul "Hubungan Antara Mitos Pageblug dan Tradisi Apitan pada Masyarakat Jawa di Semarang," Apitan merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat yang berada di Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat setempat setiap tahunnya.

Tradisi Apitan diadakan oleh masyarakat Kalipancur untuk mencegah adanya bencana pagebluk di daerah tersebut. Nantinya puncak acara tradisi apitan ini selalu ditutup dengan adanya pertunjukkan wayang kulit.

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdapat sebuah mitos yang berkembang di masyarakat terkait pertunjukkan wayang kulit yang harus selalu ada dalam pelaksanaan tradisi apitan. Mita Puspita Sari dan Nugroho Trisnu Brata dalam artikelnya menjelaskan bahwa terdapat dua narasi cerita berbeda yang membahas tentang mitos pertunjukkan wayang kulit ini.

Versi pertama dari mitos ini menceritakan bahwa pertunjukkan wayang kulit dalam tradisi Apitan bertujuan untuk mencegah musibah pagebluk di daerah tersebut. Hal ini berkaitan dengan amarah dari sosok penjaga kampung tersebut apabila tidak adanya pertunjukan wayang kulit dalam tradisi Apitan.

Dulunya Kalipancur merupakan daerah yang pelosok dan ditumbuhi oleh ilalang. Terdapat dua tokoh yang dipercaya sebagai dhayang atau penjaga kampung oleh masyarakat setempat.

Kedua tokoh ini berkaitan dengan pembentukan kampung Kalipancur dulunya. Dhayang pertama merupakan seorang tokoh bernama Mbah Pathok yang membuka daerah tersebut.

Mbah Pathok membabat ilalang yang dulunya banyak tumbuh di daerah tersebut. Mbah Pathok juga yang membuka lahan persawahan di daerah tersebut.

Sementara itu, dhayang kedua bernama Nyai Lekor. Dhayang ini memiliki petilasan berupa Sendang Pancuran yang mengairi di daerah tersebut.

Mitos versi pertama ini sendiri muncul pada 1980-an. Pada saat itu, masyarakat setempat pernah tidak mengadakan pertunjukan wayang kulit dalam tradisi Apitan.

Tidak lama kemudian, banyak warga yang meninggal dunia secara serentak. Menurut kepercayaan, hal ini terjadi karena pada dhayang merasa marah akibat tidak adanya pertunjukkan wayang kulit dalam gelaran tradisi Apitan.

Di sisi lain, versi kedua dari mitos pertunjukan wayang kulit dalam tradisi Apitan ini juga berkaitan dengan adanya musibah pagebluk di tengah masyarakat. Menurut ceritanya, pada zaman dahulu masyarakat yang hidup di Kalipancur masih memiliki pendidikan dan wawasan yang terbatas.

Masyarakat Kalipancur yang banyak bekerja sebagai petani dan peternak tidak memiliki wawasan yang cukup dalam hal kebersihan. Hal ini membuat munculnya wabah penyakit yang menyebar di tengah masyarakat.

Salah satu puncak wabah penyakit ini terjadi pada 1980-an. Pada saat itu, masyarakat Kalipancur terserang berbagai macam jenis penyakit, seperti demam berdarah, muntaber, dan tifus.

Bahkan wabah penyakit ini membuat beberapa warga Kalipancur meninggal dunia. Peristiwa pagebluk ini terus terjadi dalam kurun waktu seminggu lebih.

Pada versi kedua ini, masyarakat meyakini bahwa peristiwa pagebluk yang terjadi pada periode tersebut tidak ada kaitannya dengan amarah dhayang penjaga kampung seperti yang diceritakan dalam versi pertama. Masyarakat meyakini musibah pagebluk tersebut terjadi karena masih rendahnya wawasan orang-orang terkait kebersihan dan penanganan penyakit pada saat itu.

Meskipun demikian, pertunjukkan wayang kulit dalam tradisi Apitan masih dilakukan oleh masyarakat Kalipancur secara turun temurun. Selain berfungsi sebagai tolak bala agar tidak terjadi musibah pagebluk, pertunjukkan wayang kulit dalam tradisi apitan ini juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan silaturahmi antarwarga yang ada di daerah tersebut.

Sumber:
- Sari, Mita Puspita, dan Nugroho Trisnu Brata. "Hubungan Antara Mitos Pageblug dan Tradisi Apitan pada Masyarakat Jawa di Semarang." Jurnal Patrawidya 19.2 (2018): 97-106.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Irfan Jumadil Aslam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Irfan Jumadil Aslam.

IJ
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.