pemerintah genjot produksi bioetanol dari tebu hal hal penting ini perlu diperhatikan - News | Good News From Indonesia 2024

Pemerintah Genjot Produksi Bioetanol dari Tebu, Hal-hal Penting Ini Perlu Diperhatikan!

Pemerintah Genjot Produksi Bioetanol dari Tebu, Hal-hal Penting Ini Perlu Diperhatikan!
images info

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berupaya menggenjot produksi bioetanol berbahan baku tebu. Langkah itu dipandang realistis, namun ada sejumlah hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, Indonesia harus mampu swasembada gula dulu. Setelah itu, barulah produksi bioetanol bisa digenjot.

“Gula ini harus swasembada dulu. Terlalu riskan kalau dibuat bioetanol tapi gula kita masih impor,” ujar Soemitro dalam diskusi publik bertajuk Bensin Hijau: Akankah Lestari dan Ekonomis? yang diselenggarakan The Conversation Indonesia di Perpustakaan Nasional, Jakarta Jumat (2/11/2024).

Indonesia menjalankan misi swasembada gula dan produksi etanol dari tebu sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 418 Tahun 2023 yang berisi peta jalan (roadmap) percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. Ada pula Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 yang mendorong percepatan swasembada gula nasional.

Presiden Prabowo Subianto yang belum lama dilantik telah menunjukan keseriusan untuk melanjutkan pengembangan bioetanol secara besar-besaran. Menurutnya, itu akan mendatangkan berbagai keuntungan mulai dari polusi dari kendaraan yang diminimalisir, mengurangi konsumsi & impor BBM, hingga menghemat devisa dan memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Kendati misi swasembada gula sudah dicanangkan, faktanya Indonesia masih bergantung pada impor. Data BPS mencatat bahwa pada tahun 2023, Indonesia mengimpor 5,069 juta ton gula, dengan nilai US$2,88 miliar atau setara Rp44,33 triliun.

Selain harus swasembada, Soemitro juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib pula membangun pabrik yang bisa menyerap hasil perkebunan tebu. Dalam diskusi kemarin, langkah pemerintah yang membuka lahan tebu di Merauke, namun belum disertai pabrik pengolahannya pun jadi sorotan.

“Jika gula kita bisa swasembada, bioetanol bisa mengikuti karena yang diambil limbahnya,” lanjut. Soemitro.

Diversifikasi, Alternatif Solusi

Langkah pemerintah yang sejauh ini hanya mengandalkan tebu sebagai bahan baku bioetanol juga tak lepas dari kritik. Ternyata, hal itu punya sejumlah resiko, mulai dari hilangnya hutan dan wilayah adat dalam jumlah besar karena pembukaan lahan tebu seperti yang terjadi di Merauke, rantai pasok produksi bioetanol juga berpotensi menimbulkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Ini tergambar dalam hasil riset Traction pada 2022 yang menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dan gas N2O dari aktivitas pertanian termasuk kontributor emisi terbesar (hampir 60%) dalam praktik perkebunan. Untuk itu, perlu diversifikasi bahan baku bioetanol selain tebu, misalnya limbah kelapa sawit.

“Apabila tidak ada diversifikasi, justru akan semakin menjauhkan Indonesia dari target pengurangan emisi,” kata Manager Riset Traction Energy Asia, Refina Muthia Sundari.

Di samping diversifikasi bahan baku, Refina juga menawarkan solusi lain untuk menekan resiko yang ada, yakni pembuatan kawasan ekonomi khusus yang guna memperpendek rantai pasok. Efeknya, biaya dan emisi sama-sama bisa dikurangi.

 

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aulli Atmam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aulli Atmam.

AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.