Gol A Gong adalah tokoh literasi Indonesia yang sudah tak asing lagi namanya di dunia sastra nasional. Ia produktif dalam berkarya dengan sudah menulis sekitar 130 buku di mana magnum opusnya ialah Balada Si Roy.
Keterlibatan sosok bernama asli Heri Hendrayana Harris di jagat literasi Indonesia sangatlah besar. Buktinya, ia mendirikan Rumah Dunia, sebuah sanggar yang menyediakan rumah baca dan tempat berkesenian di Kota Serang, Banten.
Salah satu yang membedakan Gol A Gong dengan penulis lain adalah fisiknya. Tangan kirinya diamputasi sejak usianya 11 tahun. Sempat ia merasa minder, tapi setelahnya bisa bangkit karena dukungan orang tuanya. Sebelum menjadi tokoh literasi Indonesia bahkan ia pernah berprestasi sebagai atlet bulu tangkis.
Hanya saja sebagai difabel yang sarat prestasi, Gol A Gong tetap merasakan pengalaman pahit. Pernah ia tidak boleh masuk stadion sepak bola meskipun memiliki surat undangan VIP.
Diusir dari Stadion
Gol A Gong berprestasi saat menjadi atlet para bulu tangkis. Berdiri di podium kerap pernah dirasakannya baik itu di level nasional maupun internasional.
Sayangnya saat itu masa Orde Baru (Orba) di mana atlet difabel masih sangat kurang diperhatikan pemerintah. Pengalaman pahit pun pernah dirasakan Gol A Gong saat ingin masuk stadion sepak bola.
Kala itu, Gol A Gong ingin menonton sepak bola di stadion Kota Solo. Tiket VIP dibawanya karena ia diundang sebagai atlet. Hanya saja, pihak keamanan melarangnya masuk tribune VIP yang saat itu juga ditempati pemilik Arseto Solo sekaligus putra Presiden Suharto yakni Sigit. Alasan Gol A Gong dilarang masuk pun memprihatinkan, hanya karena ia difabel.
“Saya Diundang sebagai atlet. Saya punca pacar atlet voli bertubuh sempurna. Enggak boleh masuk, padahal undangan VIP. Ribut tuh semua. Saya enggak boleh masuk karena cacat. Kenapa? Karena di tribune ada Sigit pemilik Arseto Solo, anaknya Pak Harto,” ucap Gol A Gong kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Gol A Gong pun ditarik oleh provos. Kebetulan, saat itu ada jurnalis Kompas sehingga ia bisa membagikan uneg-unegnya. Kritikan ia lontarkan, tapi sang jurnalis tidak bisa memuatnya.
Mendengar si jurnalis yang tidak bisa menerbitkan keluh kesahnya itu, Gol A Gong pun curhat. Menurutnya nasib difabel di masa depan mungkin akan lebih baik jika presidennya sama kekurangannya dengannya. Ucapan adalah doa, dan sepertinya doa Gol A Gong terwujud jauh setelah itu. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang memiliki gangguan penglihatan menjadi Presiden RI keempat pada 1999-2001. Sejak itulah Gol A Gong merasa pemerintah lebih perhatian terhadap difabel.
“Adrianus (jurnalis tersebut) wawancara saya. ‘Enggak bisa ini dimuat’. Terus saya bilang berarti harus presidennya cacat baru orang melihat kesetaraan itu. Baru di era Gus Dur,” ucapnya lagi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News