Nama "Ngawi" berasal dari kata "AWI" yang dalam bahasa Jawa berarti bambu, dengan penambahan huruf sengau "Ng" menjadi "Ngawi." Menggambarkan daerah ini dulunya ditumbuhi banyak bambu, terutama di sekitar aliran Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.
Perjalanan sejarah penetapan hari jadi Ngawi dimulai pada tahun 1975, saat Bupati Ngawi mengeluarkan Surat Keputusan yang memulai pencarian tanggal berdirinya kabupaten ini.
Bambu memiliki nilai penting dalam budaya dan agama di Ngawi, terutama dalam hal simbolisme dan tradisi.
Ini Alasan Mengapa Ngawi Menjadi Produsen Gabah Tertinggi di Indonesia!
Sebagai simbol kekuatan dan fleksibilitas, bambu mengajarkan masyarakat untuk tetap tangguh dan adaptif menghadapi berbagai tantangan kehidupan, nilai-nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ngawi.
Dalam konteks agama Buddha, bambu juga memiliki makna spiritual, di mana hutan bambu dianggap suci, seperti yang tercermin pada Candi Ngawen dan Candi Mendut yang dikenal sebagai "Candi Hutan Bambu". Itu menunjukkan penghormatan masyarakat terhadap bambu dalam praktik keagamaan mereka.
Selain itu, bambu digunakan dalam berbagai kerajinan tradisional, seperti anyaman, yang masih dilestarikan oleh pengrajin di Ngawi. Seni kerajinan bambu tersebut terus berkembang meskipun menghadapi tantangan modernisasi, mencerminkan keterikatan kuat masyarakat terhadap warisan budaya mereka.
Tentu bambu bukan hanya sekadar tanaman, melainkan menjadi bagian penting dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Ngawi.
Melihat Kejayaan Perniagaan Zaman Hindu-Buddha di Wilayah Ngawi Purba
Sejarah Hari Jadi Ngawi
Pada mulanya, tanggal 31 Agustus 1830 ditetapkan sebagai hari jadi melalui keputusan DPRD Kabupaten Ngawi pada tahun 1978. Namun, karena tanggal tersebut dinilai memiliki keterkaitan dengan pemerintahan Hindia Belanda, dianggap kurang mewakili semangat nasionalisme, sehingga dilakukan revisi.
Setelah lama berunding, Ngawi ditetapkan di tanggal 7 Juli 1358 sebagai Naditira Pradesa (daerah penambangan) dan Daerah Swatantra. Tanggal ini kemudian disepakati sebagai hari jadi Ngawi melalui berbagai keputusan resmi pemerintah daerah pada tahun 1986 dan 1987.
Ngawi juga memiliki peninggalan sejarah dari era kolonial Belanda, salah satunya adalah Benteng Van den Bosch yang dibangun antara tahun 1839 hingga 1845 oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Benteng ini berada di persimpangan strategis antara Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, yang pada masa itu menjadi jalur penting penghubung antara Madiun, Surakarta, Gresik, dan Surabaya.
Sejarah panjang Ngawi, mulai dari asal-usul namanya hingga penetapan hari jadinya, menunjukkan kompleksitas perjalanan kabupaten ini dalam mempertahankan identitas dan posisinya yang strategis.
Temuan Seperti Fosil Stegodon di Ngawi
Tokoh Penting di Ngawi
Dalam perjalanan sejarah berdirinya Kabupaten Ngawi, beberapa tokoh penting memainkan peran signifikan. Raden Ngabehi Sumodigdo, yang menjabat sebagai Onder Regent (Bupati Anom) pada 31 Agustus 1830, berperan dalam pengelolaan wilayah selama masa penjajahan Belanda.
Wirotani, seorang pemimpin perlawanan rakyat, turut terlibat dalam perjuangan melawan kolonial Belanda sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, mencatatkan dirinya dalam sejarah perlawanan lokal.
Selain itu, Jaimin, lurah pertama Desa Ngawi, dikenal sebagai tokoh dermawan dan sangat dihormati dalam komunitas Samin, yang merupakan bagian dari sejarah awal desa tersebut.
Kehadiran para tokoh ini menggambarkan perjalanan panjang Ngawi dari masa lalu hingga akhirnya menjadi sebuah kabupaten yang berdiri sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News