Masa kampanye Pilkada 2024 telah dimulai. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, bahwa masa kampanye dimulai dari 25 September sampai dengan 23 November 2024. Adapun, jeda waktunya adalah tiga hari memasuki masa tenang jelang pencoblosan pada 27 November 2024.
Berdasarkan hasil pemetaan kerawanan pemilu 2024 terkait politisasi SARA yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) termasuk daerah paling rawan politisasi SARA di Pemilu 2024.
Babel menduduki peringkat ketiga kerawanan paling tinggi se-Indonesia provokasi SARA di media sosial. Adapun peringkat satu diduduki oleh Provinsi DKI Jakarta, peringkat dua dan empat secara berurutan diduduki oleh Maluku Utara dan Jawa Barat.
Bangka Belitung mendapatkan skor 34,03 persen berdasarkan total kejadian untuk seluruh indikator kerawanan media sosial, baik adanya SARA, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial.
Melihat hasil pemetaan ini, semua lapisan masyarakat wajib mengaktifkan alarm waspada. Penting bagi kita menyadari potensi dampak sosial yang terjadi. Dengan demikian, dapat diupayakan langkah-langkah pencegahan melalui penguatan nilai-nilai Pancasila dan harmonisasi di masyarakat jika ingin Pilkada 2024 di Babel berjalan sukses tanpa gangguan.
Perlu diketahui bahwa isu SARA adalah salah satu larangan yang dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Si Jali dan 38 Maskot Kawal Pilkada Serentak di Jawa Timur
Pilkada, Harmonisasi Tokoh Masyarakat melalui Dialog
Partisipasi tokoh masyarakat baik itu tokoh agama, tokoh adat maupun tokoh sosial memiliki peranan penting dalam penguatan nilai-nilai Pancasila dan harmonisasi di masyarakat.
Tokoh masyarakat wajib diikutsertakan dalam harmonisasi melalui dialog secara informal di masing-masing keterwakilan kelompok masyarakat. Sebagai contoh, forum kerukunan umat beragama atau komunitas-komunitas paguyuban kesukuan.
Dengan adanya dialog, diharapkan lahir sebuah konsensus bersama menolak Politisasi SARA, demi menciptakan kondisi aman, tertib, dan tentram selama terselenggaranya Pilkada 2024 di Babel.
Peran tokoh adat, tokoh agama, dan penyuluh agama sangatlah penting untuk menumbuhkan sikap dewasa masyarakat dalam aktivitas politik. Terutama dalam mengantisipasi munculnya isu SARA yang kerap muncul, terkhususnya saat masa kampanye.
Sebab, dalam kultur masyarakat Indonesia, keberadaan tokoh agama atau adat di masyarakat statusnya dipandang sedikit lebih tinggi. Mereka cenderung lebih didengarkan pendapatnya dibandingkan dengan petugas pemerintah.
Kesepakatan dan harmonisasi di antara berbagai tokoh yang saling bersinergi melalui dialog kebangsaan yang terbuka untuk umum diharapkan mampu memberikan rasa sejuk di tengah panasnya polarisasi para pendukung pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Babel 2024.
Peran Generasi Muda melalui Media Sosial
Era digital melalui media sosial telah mengakibatkan pergeseran terhadap kehidupan sosial konvensional kepada digitalisasi di berbagai bidang termasuk di bidang politik.
Media sosial memiliki jangkauan yang luas. Dengan demikian, sifat keterbukaannya menjadikan lalu lintas pertukaran informasi tanpa sekat dan batas. Tak terkecuali isu SARA.
Mahasiswa dan Tanggung Jawab Mengawal Proses Politik Menjelang Pilkada 2024
Penyebaran isu SARA yang terjadi di era digitalisasi, membuat generasi muda wajib mengambil peran penting dalam menghentikan penyebaran isu SARA.
Generasi muda selalu berada dalam posisi yang penting. Sebab, jumlahnya yang dominan juga aktif dalam penggunaan teknologi. Penggunaan media digital oleh generasi muda menjadi media menyampaikan kebebasan berekspresi dan berserikat bahkan sarana mempengaruhi opini dan persepsi publik.
Oleh karena itu, generasi muda diharapkan mampu membuat, atau meneruskan informasi yang positif dan jauh dari isu sara di media sosial kepada keluarga, kerabat dan teman.
Keterlibatan Stakeholder Pemerintah Daerah
Dalam penanganan dugaan tindak pidana pemilihan seperti isu SARA, telah dibentuk organisasi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang tersebar di berbagai Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia.
Ini sebagaimana yang amanat yang tertuang dalam Pasal 152 UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Selain penegak hukum yang tergabung dalam organisasi Gakkumdu, Pemerintah Daerah juga dalam hal ini bertanggung jawab membantu dalam mensukseskan Pilkada. Salah satunya melalui fungsi organisasi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Itu tertuang dalam Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Salah satu fungsi menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah dengan melakukan pembinaan dan penyuluhan, yaitu ikut serta membantu memberikan sosialisasi baik secara informal maupun formal kepada masyarakat. Yang disebarkan adalah informasi terkait dengan ancaman-ancaman sanksi. Situasi tersebut memang dapat terjadi jika ada masyarakat yang nekat bermain dengan isu SARA.
Sempat Tuai Kontroversi, DPR, KPU, Pemerintah Kini Sepakat Pakai Putusan MK untuk Pilkada 2024
Fungsi lain Satpol PP yang terkait dalam penyelenggaraan ketertiban umum adalah deteksi dini dan cegah dini dengan ikut serta melakukan pemetaan wilayah yang rawan isu SARA di Kabupaten masing-masing. Diperlukan juga secara masif menerjunkan tim Patroli Pengawasan dalam rangka pencegahan potensi eskalasi isu SARA di media sosial.
Sebuah isu SARA bukan tidak mungkin megalami eskalasi menjadi sebuah kekerasan. Riset Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina tentang Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia (2013) menunjukkan bahwa ada jarak waktu antara ujaran kebencian yang beredar dan eskalasi yang akhirnya berujung kekerasan.
Dari jeda waktu inilah, gerakan-gerakan mobilisasi massa bisa muncul. Ujaran kebencian terkait SARA bisa saja tercipta pada masa kampanye politik.
Kegagalan antisipasi melalui cegah dini dalam menangani isu sara dapat menimbulkan eskalasi kekerasan yang menyebabkan bencana sosial. Dampak bencana sosial yang ditimbulkan justru bukan ketika masa kampanye, tapi justru pada waktu Kepala Daerah yang terpilih menduduki jabatannya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News