Puisi pada masa Abbasiyah mengikuti budaya dan di latar belakangi oleh keadaan sosial yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Puisi sering dibacakan di depan para penguasa dan raja-raja dalam rangka memuji, mengecam, mencaci, bahkan merindukan kekasihnya.
Para penyair sering dijadikan sebagai juru bicara dan orator yang mendapatkan balasan berupa harta dan tempat yang mulia sebagai rasa terima kasih atas dukungannya terhadap mereka.
The most birilian period adalah istilah representasi kondisi dinasti Abbasiyah yang diperkenalkan oleh Philip K.Hitti, seorang penulis barat terkemuka. Pada masa pemerintahan Abbasiyah terjadi penerjemahan buku secara besar-besaran tepatnya di masa kepemimpinan Harun Al Rasyid. Berkembangnya pengetahuan tersebut ternyata membuat puisi semakin maju.
Puisi adalah inti karya sastra. Kala itu, puisi Abbasiyah sudah banyak menerapkan unsur-unsur islam seperti puisi Abu Nuwas yang berjudul I’tiraf. Kemudian ada juga puisi yang bertema khamriyyat (anggur), gazal (cinta), dan zuhud (islam).
Lalu bagaimana ciri-ciri puisi di masa itu?
Baca Juga: 25+ Puisi Maulid Nabi 2-4 Bait yang Pendek dan Menyentuh Hati
Ide/Tema
Perkembangan dan kemajuan sastra terutama puisi pada masa Abbasiyah secara tidak langsung telah menggambarkan pula budaya pada zaman tersebut karena penyair merekam berbagai permasalahan hidup, sosial dan budaya yang di gambarkan dengan diksi yang indah.
Al-Buhturi (821—897 M) merupakan penyair yang melahirkan banyak karya dengan ide utama kondisi pada masa Abbasiyah itu sendiri. Dalam Diwan Al-Buhturi, buku kumpulan karyanya, 60% berisi syair pujian tentang pemerintahan Abbasiyah.
Al-Buhturi juga mengangkat tema lainnya seperti referensi budaya, intelektual dan keadaan menggunakan warna. Misal konotasi warna putih berarti kecusian, warna biru berarti tenang. Masih dari karya Al-Buhturi, narasi dan naratif dalam bait puisinya cenderung memberikan contoh-contoh dari pengalaman hidup yang nyata untuk menampilkan kenyataan yang pahit.
Berikut salah satu contoh puisi dari Al Buhturi:
Engkau itu rendah karena merendahkan diri
Dan engkau mulia karena kehormatan
Maka engkay berada di posisi rendah dan tinggi
Begitupun matahari yang menjauh untuk berada di ketinggian
Namun cahaya serta sinar mendekatinya
Gaya Bahasa
Puisi adalah salah satu bentuk sastra, di mana mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang secara imajinatif. Dengan tingkat emosional yang tinggi, seorang penyair memaksimalkan kata demi kata. Dengan demikian, ini akan menjadi kalimat yang sempurna. Seni puisi memiliki sifat musikal.
Penyair kala itu banyak menggunakan majas sinisme dan sarkasme pada puisi yang bergenre Hija (kecaman) yang dipengaruhi oleh pergolakan politik yang terjadi. Simile dan personifikasi juga merupakan gaya bahasa yang sering digunakan penyair pada masa dinasti Abbasiyah.
Simile digunakan untuk mengungkapkan sesuatu melalui perbandingan atau perempuan sedangkan personifikasi gaya bahasa yang menciptakan perempuan benda mati dengan sifat menyerupai manusia.
Abu Nuwas yang merupakan penyair masyhur di masa Abbasiyah sangat produktif dalam menulis puisi. Ketika menggunakan tema sedih atau ratapan (elegy) misalnya, maka Abu Nuwas akan menggunakan diksi yang cukup mengundang perasaan emosi mendalam dengan diksi yang bersifat kiasan. Dalam kalimat beliau sering menggunakan gaya bahasa klimaks maupun repetisi.
Ketika menulis dengan tema romansa, Abu Nuwas menggunakan gaya bahasa yang jujur dan seringkali menggunakan gaya bebas (licentia poeticia).
Karya Abu Nuwas yang berjudul Al-’Itiraf sangat masyhur bahkan diadaptasi dalam sejumlah lagu dan sering digunakan sebagai syair yang sering dilantukan di pondok pesantren. Pada karya Al-‘Itiraf, Abu Nuwas mengangkat tema perasaan atas kenistaan diri.
Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya populer (kata-kata biasa, kata-kata sehari-hari yang mudah dimengerti masyarakat umum).
Berikut kutipan dari puisi Al-’Itiraf Abu Nuwas:
Tuhanku, aku tidak pantas mendapatkan surga-Mu
Dan aku tidak sanggup menahan siksa neraka-Mu
Maka terimalah taubatku
Dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya engkau adalah maha pengampu dosa besar
Dosaku seperti tumpukan pasir
Maka terimalah taubatku yang maha memiliki kekuasaan
Umurku berkurang setiap harinya
Akan tetapi dosaku bertambah
Bagaimana mungki hamba memikulnya
Baca Juga: 10 Contoh Puisi tentang Pendidikan 2-4 Bait, Sarat Akan Makna
Jadi pada masa dinasti Abbasiyah fungsi dasar sastra sebagai alat komunikasi, pelestari kebudayaan dan kritik sosial tetap utuh bahkan puisi menjadi sumbangsih besar bagi perkembangan sastra Arab kala itu.
Referensi:
Anggraini, Amanda. Tinta Abadi Al-Buhturi (821-897): Telusur Jejask Hidup dan Karya Gemilang Sang Penyair di Masa Emas Abbasiyah Kedua. Diakses pada: https://blog.uin-suka.ac.id/moh.hidayat/esai-puisi-masa-bani-abbasiya-kedua-850-1250
Al Hinduan, Najmah, dkk. 2020. Karakteristik dan Fungsi Puisi Arab pada Masa Transisi Pemerintah Dinasti Umattah ke Dinasti Abbasiyah. Alsina: Journal of Arabic Studies Vol.2 No.1 (2020) 51-70
Fahrizal, Lalu Muhammad Rusdi. 2022. Kajian Intertektualisasi Syair Puisi Al-I’Itiraf Karya Abu Nawas dengan Lagu Andai Ku Tahu Karya Ungu Band (Analisis Sastra Bandingan). Diakses pada: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/56104/1/Kajian%20Intertektualisasi%20Syair%20Puisi%20al-I%27tiraf.pdf
Hanif Fathomi. 2012. Gaya Bahasa Dalam Syair “Al-I’tiraf” Karya Abu Nuwas: Sebuah Analisis Stilistik. Jurnal, Vol.7 No.2. diakses pada: https://www.academia.edu/74346211/Menelaah_Kesusastraan_Dan_Karya_Sastra_Dinasti_Abbasiyah
Siena, Mu’ad Widia. 2021. Analisa Sya’ir Masa Abbas Awal: Al-Buhturi dan Syair’inya. Diakses pada: https://www.scribd.com/document/512211216/Analisa-Sya-Ir-Masa-Abbas-Al-buhturi-Dan-Sya-Irnya-1
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News