Membahas keberagaman yang dimiliki Indonesia tidak akan ada habisnya. Ibarat harta yang tak ternilai harganya, menjaga dan merawat keberagaman Indonesia selalu menjadi materi ajar pada setiap jenjang pendidikan. Pada bangku kuliah sendiri, sering terdengar ceramah pakar yang membahas mengenai nilai-nilai kebinekaan, mulai dari falsafah hingga implementasinya.
Kebinekaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti keberagaman. Penanaman dan pengimplementasiannya dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan, salah satunya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Pada tanggal 28 Juni 2024 Universitas Gadjah Mada menerjunkan mahasiswa ke berbagai penjuru Nusantara untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau KKN-PPM UGM Periode II dengan tanggal pelaksanaan 1 Juli - 19 Agustus 2024.
Salah satu tim KKN-PPM UGM Periode II yang ditugaskan di luar Jawa adalah tim Seruak Tuangku. Tim yang memiliki kode unit AC-002 ini bertugas di Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Perjalanan yang ditempuh tim untuk menuju lokasi memakan waktu kurang lebih 32 jam menggunakan transportasi darat, laut, dan udara. Kepulauan Banyak memiliki gugusan 99 pulau, adapun Pulau Tuangku sebagai pulau terbesarnya. Pulau inilah yang menjadi lokasi pengabdian tim Seruak Tuangku.
Pulau Tuangku terdiri dari empat desa yang menjadi lokasi subunit tim yakni Desa Haloban, Desa Asantola, Desa Ujung Sialit, dan Desa Suka Makmur. Desa Haloban dan Desa Asantola adalah pusat kecamatan, keduanya saling terhubung dengan jalan kecamatan.
Namun, kedua desa lainnya yakni Ujung Sialit dan Suka Makmur, hanya memiliki akses transportasi laut apabila hendak pergi ke desa lain. Masing-masing desa tersebut memiliki keunikan dari segi keberagaman suku yang dimiliki.
Mengatasi Lalat Buah dengan Petrogenol: Uji Coba Tim KKN-PPM UGM 2024 di Desa Jati
Terdapat dua suku yang mendiami Pulau Tuangku. Pertama, Suku Nias yang mendiami Desa Ujung Sialit dan Desa Suka Makmur. Kedua, suku Haloban yang mendiami Desa Haloban dan Asantola. Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, suku ini merupakan lahir dari asimilasi lima suku yang berbeda yakni Minangkabau, Nias, Simeulue, Batak, dan Mandailing.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jamee atau bahasa pesisir sebagai lingua franca atau bahasa pengantar. Oleh karena itu, dalam satu pulau bahasa yang digunakan beragam. Selain keberagaman suku dan bahasa, di pulau ini juga terdapat keberagaman budaya dari segi agama.
Kami yang terbiasa hidup sebagai penganut agama mayoritas di Indonesia belajar banyak hal tentang kebinekaan ketika hidup di Desa Ujung Sialit yang penduduknya menganut agama Kristen Protestan.
Hal yang paling banyak dipelajari ketika berada di Ujung Sialit adalah toleransi beragamanya. Semua anggota tim Seruak Tuangku yang ditugaskan di Ujung Sialit adalah muslim. Oleh karena itu, setiap menghadiri pesta pernikahan kami tidak bisa memakan makanan yang dihidangkan karena berbahan daging babi.
Sebagai gantinya, tamu undangan muslim dibawakan satu ekor ayam hidup, beras, dan beberapa makanan kemasan. Suatu hari, teman-teman hendak membeli sebuah jajanan tanpa merek di sebuah warung tetapi sang pemilik menegur agar tidak membelinya karena jajanan itu berasal dari Nias.
Mereka sangat memahami –tanpa dijelaskan sebelumnya– bahwa kami harus memperhatikan bahan-bahan makanan yang diproduksi oleh penduduk nonmuslim. Alangkah indahnya harmoni toleransi yang terasa ini.
Setelah upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-79, terdapat sebuah persembahan penampilan oleh siswa-siswi SD Negeri Ujung Sialit dan SMPN 2 Pulau Banyak Barat. Mereka menampilkan tari Maena, yakni tarian Nias yang biasanya dilakukan saat perayaan momen kebahagiaan seperti pernikahan.
Saat menarikan Maena, siswa-siswi menggunakan rompi yang merupakan baju adat Nias. Tidak hanya menonton, kami dan para tamu undangan juga ikut menari bersama mereka. Gerakannya cukup mudah diikuti dengan gerakan langkah kaki yang dominan. Suasana menjadi sangat hangat sebab kebersamaan dalam keberagaman ini adalah wujud perayaan kemerdekaan Indonesia yang kami rasakan.
Upacara dan perayaan pada 17 Agustus ini menjadi sebuah momen kemerdekaan yang tidak hanya seremonial belaka tetapi juga menjadi sarana untuk memaknai kekayaan yang bangsa ini miliki.
Perjalanan pengabdian 50 hari ini berakhir pada tanggal 18 Agustus 2024. Beberapa program kerja di berbagai bidang seperti pertanian, perikanan, pendidikan, dan kesehatan telah tuntas dilaksanakan. Namun, rasanya ilmu yang kami dapatkan lebih banyak dibandingkan dengan yang kami berikan kepada masyarakat.
Banyak “gelas kosong” harus disiapkan untuk meneguk banyak pelajaran dari berbagai “mata air” yang tersedia. Menjadi pribadi yang pandai membaca makna dari setiap peristiwa adalah keterampilan yang terasah selama masa pengabdian. Berbagai makna dapat dituai ketika terjun dalam masyarakat yang memiliki banyak keberagaman.
Menjunjung tinggi toleransi, saling menghargai dalam perbedaan, dan tetap menjaga keutuhan di tengah keberagaman adalah pelajaran yang tak ternilai harganya. Pengabdian 50 hari inilah yang menjadi alasan untuk semakin menjaga dan merawat keberagaman di tanah air yang amat kami cintai ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News