sejarah itu dna bangsa - News | Good News From Indonesia 2024

Sejarah Itu DNA Bangsa

Sejarah Itu DNA Bangsa
images info

“History is not luxury, It is your nation’s DNA.”

Seingat saya, itu adalah sepenggal jawaban sejarawan sekaligus Indonesianis Prof. Dr. Peter Carey (Adjunct Professor Departemen Sejarah FIB UIketika menjawab pertanyaan Gita Wiryawan, mantan Menteri Perdagangan RI, di acara podcast-nya yang bertitel Endgame - kenapa generasi mudah sekarang tidak suka membaca buku terutama soal sejarah. Peter Carey juga mendorong agar bangsa Indonesia ini menulis sejarahnya dari akar rumput dan bukan dari perspektif penjajah kolonial mengingat begitu banyaknya aset sejarah yang dimiliki Indonesia yang sebenarnya mengagumkan dunia untuk diketahui bangsa Indonesia dan dunia. Misalnya, sejarah meletusnya gunung Tambora (5 April 1815 – 23 April 1816) di Pulau Sumbawa yang menyebabkan Napoleon Bonaparte kalah perang dengan Inggris karena letusan itu menghasilkan perubahan iklim nan hebat di dunia. Napoleon tidak mengantisipasi perubahan cuaca itu sehingga mengakibatkan pasukan infanteri dan kavalerinya tidak bisa bergerak. Peter Carey bisa menjelaskan pengaruh runtuhnya Nopoleon itu terhadap karakter pemerintahan Belanda di Indonesia. Peter Carey pun mengusulkan agar aset sejarah Indonesia yang gemilang itu dibuatkan sebuah film layar lebar atau Netflix agar generasi muda memahami sejarahnya.

Teman saya seorang perempuan Mesir dosen di Universitas Alexandria menulis di akun Facebook miliknya: “History Is Not the Study of the Past, but It Is the Study of How the Present is Produced”, yang artinya “Sejarah Bukanlah Studi Tentang Masa Lalu, Tapi Studi Tentang Bagaimana Masa Sekarang Dibentuk”. Kalimat itu menggambarkan betapa pentingnya sejarah bagi suatu bangsa itu.

Peter Carey itu adalah orang Inggris yang selama 40 tahun melakukan penelitian tentang perang Jawa nya Pangeran Diponegoro tahun 1825-1830 mengakui ketertarikannya tentang Indonesia utamanya Jawa. Mengikuti arahan dosennya di Cornel University Amerika Serikat, Peter ini harus belajar bahasa Belanda, Indonesia dan Jawa apabila ingin menekuni penelitiannya tentang sejarah Jawa, Pangeran Diponegoro dan falsafah yang berlaku di masyarakat Jawa. Kenyataannya, memang dia sangat fasih berbahasa Indonesia dan mengucapkan kata-kata bahasa Jawa halus dengan tepat.

Pak Peter – begitu ia dipanggil – nampak sangat paham tentang sejarah Jawa masa kolonial Belanda maupun diwaktu Inggris datang menjajah nusantara selama lima tahun dibawah gubernur Thomas Raffles. Dibandingkan penjajah Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Raffles sangat faham bahwa untuk menaklukkan Jawa maka pemahaman tentang budaya Jawa sangat diperlukan, sementara Daendels tidak melakukan itu.

Dia menceritakan pengalamannya ketika naik kapal laut Djakarta Lyod dari kota New York Amerika Serikat ke Indonesia tahun 1970an di mana dia merasakan kebhinekaan Indonesia atau miniatur Indonesia di kapal itu karena kapten maupun anak buah kapal berasal dari berbagai suku di Indonesia. Dari Jakarta, ia ke Yogyakarta naik kereta api dan tinggal di Malioboro hingga ia bertemu temannya orang Inggris yang mengajak nonton “Wayang Wong” atau wayang orang di daerah Tegalrejo. Begitu tahu nama daerah itu, seketika ada ikatan batin pada dirinya karena Tegalrejo adalah tempat tokoh pujaannya yaitu Pangeran Diponegoro pernah tinggal.

Carey lahir dari pengusaha Inggris Thomas Brian Carey dan istrinya Wendy di Yangon, Birma (kini Myanmar), pada 30 April 1948. Pada usia tujuh tahun, ia dan keluarganya berpindah ke Britania Raya. Ketika bersekolah di sana, Carey mendapatkan pengetahuan dasar tentang pangeran Jawa, Diponegoro, yang memimpin sebuah perang melawan pasukan kolonial Belanda di Hindia Belanda pada 1820-an. Ia kemudian menyatakan kekagumannya terhadap pangeran tersebut karena kedekatannya dengan wong cilik meskipun ia berlatar belakang bangsawan. Dalam penelitiannya Pak Peter menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro bermain catur dengan temannya yang bukan bangsawan.

Bagi Peter Carey, Pangeran Diponegoro itu adalah tokoh dunia, seorang bangsawan keturunan Raja Jawa, tapi tidak mau diangkat menjadi pewaris tahta kerator. Passion-nya tidak di Keraton dan memiliki karakter yang mulia karena tidak ingin menunjukkan bahwa dia bangsawan sebab mau hidup dengan wong cilik dan tinggal di Tegalrejo.

Di sebuah padepokan yang sepi dengan kolam berisi ikan dan penyu, Peter Carey bersemedi disitu untuk mendekatkan diri dengan alam dan menekuni ilmu tasawuf. Peter Carey menjelaskan bahwa Pangeran Diponegoro di samping sebagai bangsawan, dia adalah panglima perang, dan seorang ulama. Bahkan ketika dalam pengasingannya di Makassar Sulawesi Selatan setelah ditangkap Belanda dia menjadi guru tasawuf serta menulis buku Babad Diponegoro yang diwariskan kepada bangsa ini. Buku itu dikenal di Inggris maupun Belanda.

Ketika ditanya Pak Gita Wiryawan kenapa Pangeran Diponegoro memutuskan melawan penjajah Belanda, Peter menerangkan bahwa sebagai orang Jawa Pangeran Diponegoro merasa terhina oleh Belanda yang mendatangkan orang-orang Cina dari negerinya ke Jawa untuk ditugasi menarik pajak rakyat kecil di desa-desa. Menurutnya, baik penjajah Belanda maupun orang-orang Cina itu tidak mengerti bahasa Jawa dan memahami budaya Jawa yang penuh kesantunan yang luhur. Pajak-pajak yang ditarik dari keringat rakyat itu dibawa ke Belanda untuk membangun kerajaan Belanda dan membayar hutang negara. Selain itu sebagai orang Jawa, Pangeran Diponegoro mengamati gejala alam seperti meletusnya gunung Merapi sebagai tanda bahwa akan ada kejadian penting di tanah Jawa.

Karya penting Pak Peter ini berfokus pada sejarah Diponegoro, periode Inggris di Jawa (1811–1816), dan Perang Jawa (1825–1830) yang telah ia terbitkan secara ekstensif. Karya biografinya tentang Diponegoro, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855, diluncurkan pada 2007 oleh KITLV Press. 

Pak Peter mampu menjelaskan secara detail sejarah Jawa, filsafat orang Jawa, perjalanan hidup Pangeran Diponegoro, tempat-tempat bersejarah di Yogyakarta, perang pasukan Inggris dan pasukan keraton Yogyakarta. Sementara saya sejak kecil ketika di Sekolah Rakyat (sekarang SD) hanya diajari secara singkat tahun perang Diponegoro dan harus saya hafalkan tahun itu tanpa harus memahami secara rinci karakter pangeran Diponegoro, kehidupan beliau sewaktu di Keraton, kekejaman dan penghinaan Belanda kepada rakyat Jawa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AC
AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.