Bayangkan Kawan GNFI pergi menggunakan KRL Commuter Line pada jam sibuk di pagi hari. Ratusan orang juga ikut berdesak-desakan di stasiun transit, berebut untuk pindah jalur kereta menuju stasiun tujuan.
Tiba di ujung peron, terlihat garis antrean yang panjang: orang-orang bersabar naik atau turun di eskalator sambil sesekali petugas menyerukan imbauan lewat megafon. Meskipun sudah begitu, kerumunan nampak tidak bergeming.
Sambil sesekali melihat jam tangan, Kawan dapat melihat kalau kereta yang akan mengantar ke stasiun selanjutnya sudah terpakir rapi di peron sebelah. Dalam kondisi seperti itu, perilaku mana yang lebih tepat? Berdiam diri, atau menyilakan satu jalur untuk berjalan di eskalator?
Kondisi di atas kerap ditemukan terutama pada jam-jam sibuk perpindahan transportasi umum. Disadari atau tidak, eskalator kini sudah menjadi bagian tidak terlepaskan dari pembangunan tempat publik.
Seiring dengan bangunan yang dibuat bertingkat, penggunaan eskalator pun menjadi lebih sering. Eskalator atau “tangga berjalan” ini memungkinkan orang untuk berpindah ke tempat yang lebih rendah atau lebih tinggi secara otomatis tanpa perlu berjalan kaki.
Penggunaan eskalator sendiri pertama dipamerkan di Paris pada tahun 1900. Awalnya, eskalator difungsikan sebagai wahana yang bisa dinaiki oleh orang-orang dan bukan sebagai sarana pembantu mobilitas.
Baru beberapa tahun setelahnya, negara-negara barat seperti Inggris atau Amerika, bahkan Jepang, mulai mengimplementasikan eskalator di tempat-tempat umum. Di Indonesia eskalator pertama kali dipasang di Mal Sarinah tepatnya pada tahun 1966.
Kini memanfaatkan eskalator di tempat umum sudah menjadi kebiasaan. Aturan yang lazim berlaku dalam penggunaan eskalator adalah mengalokasikan satu jalur untuk berjalan dan satu jalur lagi untuk berdiam diri. Meskipun nampak lazim diterapkan, kenyataannya implementasi aturan ini berbeda-beda di berbagai negara.
Di negara barat seperti Inggris atau Amerika misalnya, lajur kanan biasa digunakan untuk berdiam diri sementara orang-orang yang hendak berjalan diperkenankan menggunakan lajur kiri. Aturan ini diterapkan secara berbeda di Jepang, terlebih di kawasan Kanto atau Tokyo yang mengalokasikan sisi kanan untuk pengguna yang mau berjalan.
Indonesia sendiri sudah mulai mengadopsi aturan “diam atau berjalan” pada eskalator. Aturan ini biasa diterapkan pada eskalator yang ada di tempat-tempat umum seperti halte, bandara, atau stasiun kereta api.
Umumnya, pengguna yang ingin berjalan ditempatkan di sisi kiri eskalator sementara sisi kanan diperuntukkan agar pengguna tetap diam. Berbagai petunjuk juga dipasang di sepanjang eskalator untuk menginformasikan aturan tersebut. Malah, terkadang ada petugas yang membantu mengingatkan pengunjung soal aturan tersebut.
Akan tetapi, kepadatan pengunjung di tempat-tempat umum seperti stasiun tidak bisa dipungkiri terutama pada jam-jam sibuk. Pengunjung biasa berjubel dan memilih diam tanpa mengindahkan aturan kiri/kanan eskalator.
Kepadatan kerap terjadi pada jam sibuk seperti jam kerja di pagi hari atau jam kepulangan di sore hari. Beberapa stasiun transit seperti Stasiun Duri, Tanah Abang, atau Manggarai yang melayani volume pengunjung lebih banyak juga tidak dapat menghindari kepadatan massa yang menggunakan eskalator.
Dengan kondisi seperti itu, kondisi seperti apa yang ideal? Apakah pengunjung diimbau untuk tetap mempertahankan lajur kiri-kanan eskalator, atau malah sebetulnya lebih efektif apabila semua pengguna berdiam diri saja?
Riset yang dilakukan oleh peneliti dari University of Maryland pada Juni 2024 mencoba menjawab pertanyaan ini. Hasilnya, riset tersebut berpendapat bahwa aturan yang saat ini lazim diterapkan ternyata tidak sepenuhnya efektif.
Dalam artikelnya, Michael C. Fu, peneliti, mengatakan bahwa pada jam-jam sibuk mengalokasikan satu jalur untuk berjalan dan jalur lain untuk berdiam justru tidak akan efektif. Hal ini lantaran jalur yang diperuntukkan untuk berjalan kerap menimbulkan ruang kosong yang semestinya bisa ditempati oleh lebih banyak orang.
Dalam kondisi penuh orang, Michael berpendapat bahwa prioritas utama yang harus dipenuhi adalah membiarkan sebanyak mungkin orang untuk naik ke eskalator. Meskipun begitu, meminta seluruh orang untuk tetap diam ketika menggunakan eskalator juga adalah hal yang tidak mungkin.
Alasannya lantaran saat ini masyarakat sudah terbiasa dengan aturan pembagian jalur yang berlaku. Selain itu, Michael berujar bahwa masing-masing orang memilih untuk mempunyai jarak lebih lebar antarsesama pengguna eskalator. Eskalator yang terlalu penuh dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada penggunanya.
Oleh karena itu, Michael menyimpulkan bahwa solusi paling optimal dalam penggunaan eskalator di jam sibuk adalah menyilakan orang-orang yang ingin berjalan dapat menaiki eskalator terlebih dahulu, lalu kemudian beralih dengan menerapkan seluruh pengguna untuk diam. Sistem ini mirip seperti rekayasa lalu lintas yang membuka-tutup jalan ketika jam-jam sibuk.
Meskipun begitu, Michael tidak memungkiri bahwa pada kondisi normal, aturan satu jalur untuk pejalan kaki dan satu jalur untuk berdiam diri tetap dapat diterapkan. “Rekayasa di atas hanya diperlukan ketika menghadapi jam sibuk,” kutip Michael dari artikelnya.
Referensi
Fu, M. C. (2024). Escalator Etiquette: Stand or Walk? A Systems Analysis. In Systems (Vol. 12, Issue 6). https://doi.org/10.3390/systems12060203
https://howtojapan.net/2023/04/26/which-is-right-the-right-or-the-left%E3%80%9Chow-to-ride-escalators-in-japan/
https://theconversation.com/escalator-etiquette-should-i-stand-or-walk-for-an-efficient-ride-112287
https://www.rhsmith.umd.edu/research/whats-best-escalator-etiquette-stand-or-walk
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News