Dua lembaga negara—Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA)—belakangan disorot publik lantaran putusan yang dihasilkan menuai kontroversi.
Dimulai pada 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi soal batas usia calon presiden dan wakil presiden (minimal 40 tahun), yang dilayangkan oleh mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA) Almas Tsaqib Birru.
Kemudian, pada 29 Mei 2024 atau menjelang Pilkada Serentak, giliran Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana untuk menambah tafsir soal syarat usia calon kepala daerah (minimal 30 tahun) saat pencalonan.
Lantas, apa sebetulnya perbedaan MA dan MK, serta bagaimana sifat putusan yang dihasilkan dua lembaga negara ini?
Perbedaan Kewenangan MA dan MK
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah dua lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan berbeda dalam sistem hukum Indonesia.
MA merupakan puncak kekuasaan peradilan umum, yang mengawasi jalannya peradilan di bawahnya, termasuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. MA berwenang menangani kasasi serta melakukan pengawasan atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, seperti peraturan daerah.
Sebaliknya, MK memiliki kewenangan konstitusional yang bersifat lebih spesifik. MK bertugas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.
Dalam konteks pemilu, kewenangan MK terletak pada memutus perselisihan hasil pemilihan, termasuk Pilkada. Dengan demikian, MK lebih berfokus pada memastikan agar proses demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
Baca juga Sempat Tuai Kontroversi, DPR, KPU, Pemerintah Kini Sepakat Pakai Putusan MK untuk Pilkada 2024
Sifat Putusan MA dan MK dalam Sengketa Pemilu
Perbedaan utama antara MA dan MK dalam menangani sengketa pemilu terletak pada sifat putusannya. Putusan MA dalam konteks pemilu atau pilkada cenderung bersifat administratif atau teknis.
MA bisa memutuskan perkara yang berkaitan dengan pelanggaran prosedural, seperti pelanggaran administratif oleh penyelenggara pemilu. Putusan MA biasanya bersifat final, namun lebih berfokus pada aspek-aspek teknis dan prosedur hukum.
Di sisi lain, putusan MK memiliki kekuatan konstitusional yang mengikat secara luas. Dalam sengketa hasil pemilu atau pilkada, putusan MK dapat memengaruhi hasil akhir, termasuk memerintahkan penghitungan ulang, diskualifikasi, atau bahkan mengulang pemilu di daerah tertentu.
Sifat putusan MK lebih substantif karena berkaitan langsung dengan keabsahan hasil pemilu berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi. Selain itu, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
Baca juga Daerah Ini Paling Banyak Meloloskan Artis jadi Anggota DPR
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News