Thailand akan menjadi negara kedua di Asia Tenggara yang memperkenalkan pajak karbon pada tahun depan, setelah Singapura. Meskipun dampaknya terhadap emisi mungkin tidak signifikan pada awalnya, langkah ini mengirimkan sinyal penting bahwa pengurangan emisi karbon menjadi prioritas pemerintah dan akan mendorong adopsi teknologi bersih untuk memperlambat pemanasan global.
Mengutip dari CNA, Dr. Vinod Thomas dari ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan bahwa pengenalan pajak karbon adalah keputusan bijak bagi negara yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, seperti Thailand, di mana 85% dari bauran energinya terdiri dari minyak, gas alam, atau batu bara.
Singapura sebelumnya telah meluncurkan pajak karbonnya pada tahun 2019 sebesar S$5 (US$3,72) per ton CO2e, meningkat menjadi S$25 (US$18,62) tahun ini dan diperkirakan akan mencapai S$50 hingga S$80 (US$60) per ton pada tahun 2030.
Thailand akan mengikuti jejak ini dengan memberlakukan pajak sebesar 200 baht (US$5,60) per ton CO2e pada produk minyak bumi seperti diesel dan bensin mulai tahun depan. Pajak yang sudah ada akan diubah menjadi pajak karbon tanpa menambah pendapatan atau biaya tambahan bagi konsumen, dan tanpa memerlukan undang-undang baru.
Tarif pajak karbon di Thailand diperkirakan akan berkembang, dengan kemungkinan adanya pajak yang lebih tinggi pada sektor-sektor seperti produksi baterai dan transportasi. Pajak awal sebesar 200 baht per ton CO2e ini mungkin akan meningkat di masa depan.
Pajak ini akan menjadi bagian dari Undang-Undang Perubahan Iklim Thailand, yang mencakup pelaporan emisi wajib, dana perubahan iklim, dan skema perdagangan emisi yang memungkinkan perusahaan membeli dan menjual kredit karbon. Implementasinya diharapkan memakan waktu satu hingga tiga tahun.
Dalam skema perdagangan emisi ini, pemerintah akan menetapkan batas emisi maksimum, dan perusahaan yang mengurangi emisinya dapat menjual kuota yang tidak terpakai kepada perusahaan yang polusinya tinggi. Ini memberikan fleksibilitas bagi perusahaan untuk membeli kredit karbon atau mengadopsi teknologi baru, tergantung pada biaya dan kebutuhan mereka.
Pengalaman Thailand dan Singapura dalam menerapkan pajak karbon mungkin akan mendorong negara-negara tetangga untuk mengikuti jejak mereka, memperluas skala penetapan harga karbon dan mengurangi emisi di kawasan ini.
Beberapa negara di kawasan ini juga sedang mengambil langkah-langkah terkait penetapan harga karbon. Indonesia, yang awalnya berencana memperkenalkan pajak karbon pada tahun 2022, telah menundanya hingga 2025 untuk memastikan skema tersebut sejalan dengan undang-undang yang ada.
Malaysia juga berencana menerapkan penetapan harga karbon dan sedang mempertimbangkan pajak karbon menjelang penerapan Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) Uni Eropa pada tahun 2026, yang akan memberlakukan tarif pada barang-barang impor berdasarkan emisi karbonnya.
Pemerintah Thailand akan bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk menghindari pajak ganda pada ekspor Thailand dan mempromosikan produk Thailand sebagai lebih ramah iklim.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News