Asia Tenggara berpeluang untuk mengungguli Tiongkok dalam hal pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Penanaman Modal Asing (PMA) pada dekade mendatang, seperti diungkap dalam laporan ‘Navigating High Winds: Southeast Asia Outlook 2024 - 2034’ yang dirilis oleh Angsana Council, Bain & Company,dan Bank DBS.
PDB dari enam negara dengan tingkat perekonomian tertinggi di Asia Tenggara (Kawasan SEA-6, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan rata-rata 5,1 persen per tahun.
Vietnam dan Filipina disebut akan menjadi pendorong pertumbuhan terbesar di kawasan ini, yang masing-masing diperkirakan akan melebihi 6 persen, kemudian diikuti oleh Indonesia di angka 5.7 persen.
“Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, SEA-6 mampu mendatangkan PMA lebih besar daripada Tiongkok,” tulis rilis tersebut.”
Pada tahun 2023, PMA di Asia Tenggara mencapai 206 miliar dolar AS, sementara Tiongkok mencatat 43 miliar dolar AS. Antara tahun 2018 dan 2022, SEA-6 berhasil menumbuhkan PMA-nya sebesar 37 persen, lebih tinggi dari Tiongkok yang hanya 10 persen.
Laporan ini memberikan perkiraan pertumbuhan 10 tahun untuk ekonomi SEA-6 dengan meninjau faktor-faktor yang memengaruhi tenaga kerja, modal, dan produktivitas. Laporan ini juga menyoroti kinerja ekonomi historis pasar SEA-6 terhadap sektor pendorong pertumbuhan tradisional dan kontekstual.
Transisi Asia Tenggara
Analis DBS/DBS
Transisi Asia Tenggara dari kebangkitan menuju pertumbuhan pada dekade berikutnya Dalam 30 tahun terakhir, pertumbuhan PDB Asia Tenggara dinilai cukup baik, dengan Vietnam berhasil memimpin pada sebagian besar indikator performa.
Kawasan SEA-6 mengalami pertumbuhan yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan Tiongkok atau India. Antara tahun 1993 dan 2003, pertumbuhan PDB riil di negara-negara SEA-6 rata-rata mencapai 3,8 kali lipat.
Sebagai perbandingan, Tiongkok mengalami pertumbuhan PDB yang jauh lebih tinggi yaitu 11 kali lipat, sementara India mengalami tingkat pertumbuhan 6,6 kali lipat. Salah satu aspek yang perlu dicatat adalah bahwa sebagian besar negara Asia Tenggara memperlihatkan nilai tambah manufaktur (Manufacturing Value-Added atau MVA) mereka sebagai bagian dari PDB yang mencapai puncaknya pada tahun 2000-an.
Kawasan ini kemudian mengalami 'deindustrialisasi prematur' karena Tiongkok menjadi lebih kompetitif. Meskipun demikian, Asia Tenggara telah meningkatkan faktor-faktor fundamentalnya untuk bangkit dan tumbuh kembali.
Pembentukan modal domestik Asia Tenggara yang terus meningkat menunjukkan adanya kepercayaan diri dari para pelaku bisnis di sebagian besar negara di kawasan ini. Dalam satu dekade terakhir, kawasan ini telah memperkuat sektor-sektor utamanya seperti manufaktur yang berorientasi ekspor, pengemasan semikonduktor, serta telah menarik investasi di sektor-sektor yang sedang bertumbuh seperti pusat data.
Dunia telah berubah
Analis DBS/DBS
Munculnya disruptor berbasis teknologi (Technology-Enabled Disruptors atau TED) telah meningkatkan persaingan dan inovasi bahkan di sektor-sektor ekonomi tradisional. Negara-negara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia telah memfokuskan kembali strategi mereka terhadap pertumbuhan, sementara Vietnam telah lebih dulu berlari di depan.
“Berkat hasil dari pertumbuhan domestik yang kuat dan strategi Tiongkok +1, kami semakin optimis bahwa PDB dan PMA Asia Tenggara akan melampaui pertumbuhan Tiongkok pada dekade berikutnya. Namun, persaingan investasi multinasional akan semakin ketat, seiring dengan persaingan antar negara yang akan meningkatkan hasil yang lebih baik bagi bisnis dan konsumen,” kata Charles Ormiston, Advisory Partner di Bain & Company sekaligus Chair di Angsana Council.
Taimur Baig, Managing Director dan Chief Economist di DBS Bank menyatakan dunia telah berubah menjadi semakin proteksionis dan “inward looking” beberapa tahun terakhir, sebuah tren yang sepertinya tidak akan berubah.
Meski demikian, lanjutnya sebagian besar negara-negara dan perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara berada di posisi yang tepat untuk menemukan peluang dikarenakan alokasi modal telah dikalibrasi ulang di berbagai wilayah dan sektor, sembari menghadapi disrupsi teknologi dan perubahan iklim.
“Kami rasa pernyataan dari para pengamat itu salah; justru sebuah dekade yang penuh angin segar telah menanti kawasan ini,” ujarnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News