Hari Anak Nasional (HAN) jatuh pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya. Tanggal peringatan Hari Anak Nasional, yang sebelumnya bernama Pekan Kanak-Kanak, telah mengalami beberapa kali perubahan.
Awalnya, tidak ada tanggal tetap untuk merayakan momen ini. Pekan Kanak-Kanak dilaksanakan secara rutin setiap minggu kedua bulan Juli, tepat pada saat liburan kenaikan kelas, berdasarkan Sidang Kowani yang diadakan di Bandung pada tahun 1953.
Pada tahun 1959, pemerintah akhirnya menetapkan tanggal 1—3 Juni untuk merayakan hari anak di Indonesia. Tanggal itu dipilih karena berdekatan dengan hari ulang tahun Presiden Soekarno dan perayaan Hari Anak Internasional.
Kemudian, tanggal 23 Juli dipilih sebagai Perayaan Hari Anak Nasional bertepatan dengan Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 44 Tahun 1984. Di mana sekaligus menetapkan pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979.
Tema yang diusung pada perayaan Hari Anak Nasional tahun ini adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Sekretaris Kabinet RI, Pramono Anung Wibowo, dalam pernyataannya menyambut Hari Anak Nasional tahun ini bahwa anak-anak adalah harapan dan cerminan dari cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Kegiatan Sensory Play Alami bersama Anak-anak Desa Kotawaringin
Anak-anak adalah generasi penerus yang akan memimpin dan membentuk masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu, kesejahteraan serta pemenuhan hak-hak anak penting menjadi perihal yang penting diperhatikan oleh pemerintah.
Kesejahteraan setiap anak Indonesia dijamin konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kesejahteraan anak melalui dua pendekatan, yaitu moneter dan non moneter (deprivasi hak anak). Pendekatan moneter adalah pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data, informasi, dan analisis mengenai situasi kehidupan anak-anak yang hidup dalam kemiskinan.
Sedangkan pendekatan non moneter (deprivasi hak anak) adalah pendekatan multidimensi yang dilakukan untuk menganalisis capaian pemenuhan hak-hak anak dalam tujuh dimensi.
Tujuh dimensi yang dimaksud adalah kesehatan, nutrisi dan pangan, pendidikan, perlindungan anak, perumahan, fasilitas, dan informasi.
Menurut BPS dalam Statistik Kesejahteraan Anak, dengan pendekatan kemiskinan moneter diperoleh kesimpulan bahwa persentase anak miskin di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 11,80 persen.
Angka ini mengalami penurunan dibanding pada saat kondisi pandemi COVID-19, yaitu 12,23 persen pada tahun 2020 dan 12,64 persen pada 2021. Anak yang tinggal pada rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi miskin, dibandingkan dengan anak yang tinggal pada rumah tangga dengan jumlah Anggota rumah tangga yang lebih sedikit.
Tim KKN-PPM UGM Satru Jnana Menyambut Hari Anak di SDN 1 Kerambitan dengan Kegiatan Edukatif
Pendidikan kepala rumah tangga juga mempengaruhi angka kemiskinan anak. Persentase anak miskin yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga tidak atau belum pernah sekolah lebih tinggi daripada anak miskin yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan lebih tinggi.
Persentase anak miskin dengan kepala rumah tangga yang buta huruf dua kali lebih besar dibandingkan dengan anak miskin dengan kepala rumah tangga melek huruf. Persentase anak miskin yang bekerja dalam empat tahun terakhir berkisar 14 sampai 15 persen, di mana tahun 2022 sebesar 15,20 persen.
Poverty risk pada tahun 2022 sebesar 1,39 yang menunjukkan pekerja anak memiliki risiko sekitar 1,4 kali untuk menjadi miskin.
Sedangkan kondisi kesejahteraan anak melalui pendekatan kemiskinan non moneter (deprivasi hak anak), secara umum, persentase anak usia 0—17 tahun yang mengalami deprivasi setidaknya pada dua dimensi (multiple deprived) pada tahun 2022 sebesar 40,19 persen.
Angka ini menurun signifikan ketika dibandingkan kondisi tahun 2016. Jika dilihat per dimensi, sebanyak 42,17 persen mengalami deprivasi pada dimensi kesehatan. Nilai tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan persentase anak yang terdeprivasi pada enam dimensi lainnya.
Besarnya proporsi anak yang mengalami deprivasi pada dimensi kesehatan terjadi karena masih besarnya proporsi anak yang tidak memiliki jaminan kesehatan, terutama pada anak usia 0-4 tahun di pedesaan.
Selain itu, masih ada sekitar empat dari sepuluh anak usia 0-4 tahun yang belum menerima Imunisasi Dasar Lengkap (IDL).
Perayaan Hari Anak di SDN 9 Sitoluhuta: KKN PPM Mengukir Samosir Membawa Keceriaan
Berdasarkan kondisi kesejahteraan anak di atas, pemerintah diharapkan dapat memberikan upaya maksimal. Kesejahteraan anak Indonesia menjadi prioritas utama yang tidak bisa diabaikan.
Peran pemerintah sangat vital, karena memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan dan program yang menjamin pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Dengan demikian, mereka dapat tumbuh secara optimal menjadi orang dewasa yang produktif.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News