Yogyakarta merupakan kota budaya yang kental dengan tradisi dan menyimpan beragam upacara adat yang sarat makna. Dari prosesi yang melibatkan Keraton hingga ritual masyarakat desa, setiap upacara memiliki cerita dan nilai historis tersendiri.
Dalam setiap helatan adat, terlihat bagaimana masyarakat Yogyakarta menjaga warisan leluhur dengan penuh kehormatan. Tak hanya menjadi daya tarik wisata, upacara-upacara ini juga menggambarkan harmoni antara manusia, alam dan sang pencipta.
Kawan, mari kita mengenal lebih dekat keunikan dan keindahan upacara adat khas Yogyakarta yang masih lestari hingga kini.
1. Sekaten
Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Upacara ini diselenggarakan pada tanggal lima hingga tanggal 12 pada bulan Rabiul Awal.
Pada masa-masa permulaan perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, salah seorang dari Wali Songo, Sunan Kalijaga, mempergunakan gamelan untuk sarana dakwahnya. Sunan Kalijaga menggunakan dua perangkat gamelan, yang memiliki laras suara yang merdu. Kedua perangkat gamelan itu disebut Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu.
Pada tanggal lima bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Bangsal Sri Manganti. Selanjutnya, kedua gamelan itu dibawa ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai ditabuh.
Berkunjung ke Kotabaru Yogyakarta, Pemukiman Elite Eropa pada Zaman Kompeni
Antara pukul 23.00 hingga 24.00, kedua perangkat gamelan dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan iring-iringan abdi dalem dan prajurit Kraton berseragam lengkap.
Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya percaya bahwa dengan berpartisipasi dalam perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, mereka akan memperoleh pahala dan diberkahi awet muda.
Sebagai bagian dari tradisi, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan ini, banyak pedagang menjual sirih dengan berbagai rempahnya, serta nasi gurih dan lauk pauknya.
Sekitar satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, Pemerintah Kota Yogyakarta mengadakan pasar malam di alun-alun utara untuk memeriahkan perayaan tersebut.
2. Grebeg Maulud
Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dalam kalender Jawa. Di Yogyakarta, kelahiran Nabi Muhammad diperingati melalui Upacara Grebeg Maulud.
Grebeg Maulud merupakan puncak dari perayaan Sekaten, yang diadakan pada hari ke-12 bulan Maulud menurut kalender Jawa. Festival ini dimulai pukul 07.30, diawali dengan parade prajurit kerajaan yang terdiri dari sepuluh unit pasukan keraton.
Kesepuluh unit tersebut adalah Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijeron, Surakarsa, dan Bugis. Setiap unit prajurit mengenakan seragam khusus.
Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan Keraton, melewati Siti Hinggil, dan menuju Pagelaran, kemudian berlanjut ke alun-alun utara.
Saat melewati alun-alun utara, parade ini disambut dengan tembakan dan sorakan dari warga yang menyaksikan. Prosesi ini disebut Grebeg. Setelah itu, gunungan dibawa ke Masjid Agung dan dibagikan kepada masyarakat.
Pawai Alegoris: Pembuktian Tidak Hanya Utara, Yogyakarta Bagian Selatan pun Banyak Wisata
3. Upacara Adat Pembukaan Cupu Panjala
Upacara adat Pembukaan Cupu Panjala diadakan setahun sekali, tepat saat petani akan menanam benih padi atau palawija di sawah atau ladang. Upacara ini bertujuan untuk meramalkan tanda-tanda yang berkaitan dengan pertanian, sehingga hasil panen di tahun mendatang bisa diketahui melalui Cupu Panjala.
Cupu Panjala dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Sebelum mengikuti upacara, para peserta memohon berkah, seperti keselamatan, perlindungan, dan kemudahan dalam mencari rezeki, serta kehidupan yang lebih baik di tahun mendatang.
Pelaksanaan upacara dimulai dengan selamatan atau kenduri bersama yang dipimpin oleh juru kunci. Kemudian, dilakukan pembukaan Cupu Panjala yang dibungkus dengan kain mori. Setelah itu, kain mori dilepas satu per satu, dan juru kunci menjelaskan makna dari gambar-gambar yang muncul.
4. Upacara Nguras Kong (Enceh)
Upacara ini merupakan tradisi untuk mengganti air dalam 'Kong' yang berada di makam raja-raja Imogiri, tepatnya di Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri. Air yang dikeluarkan dari 'Kong' kemudian dibagikan kepada masyarakat yang percaya bahwa air tersebut dapat membawa kebaikan bagi kehidupan mereka.
Upacara Nguras Kong diawali dengan Kirab Budaya, yaitu arak-arakan peralatan nguras seperti siwur (gayung dari tempurung kelapa). Kirab ini dimulai dari Kecamatan Imogiri menuju kompleks makam raja-raja. Acara ini juga dimeriahkan dengan pentas kesenian tradisional.
5. Upacara Adat Labuhan
Labuhan diadakan untuk merayakan hari kelahiran Sri Sultan Hamengku Buwono. Dalam bahasa Jawa, labuh berarti melemparkan benda keramat ke sungai atau laut. Labuhan dari Keraton Yogyakarta melibatkan makanan, potongan kuku, dan rambut milik sultan.
Selama upacara ini, berbagai benda yang akan dilabuh dilemparkan ke Laut Selatan (Samudra Hindia). Ritual labuhan ini merupakan persembahan kepada penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul, dengan harapan agar kemakmuran masyarakat Yogyakarta semakin meningkat. Tradisi serupa juga dilakukan di Gunung Merapi dan Gunung Lawu.
Awas, Tempat Wisata di Yogyakarta Ini Tidak Boleh Dikunjungi Bersama Pasangan
6. Upacara Adat Labuhan Merapi
Setiap tanggal 30 Rajab, diadakan upacara adat yang istimewa ini. Tradisi ini adalah bagian dari rangkaian acara untuk memperingati penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Sultan Ngayogjokarto Hadiningrat. Dalam prosesi tersebut, Ki Juru Kunci membawa berbagai sesaji ke Kendit Gunung Merapi. Sesaji ini melambangkan permohonan untuk keselamatan dan kesejahteraan.
7. Upacara Rabo Pungkasan Wonokromo Pleret
Upacara Rabo Pungkasan atau Rabo Wekasan adalah ritual tradisional yang diadakan oleh warga Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Ritual ini bertujuan untuk memohon kemakmuran dan kesuksesan dalam berbagai usaha.
Istilah “Rabo Wekasan” atau “Rabo Pungkasan” merujuk pada Rabu terakhir di bulan Safar. Upacara ini berlangsung di titik pertemuan Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak, dan berakhir di Gua Permuni.
Selama upacara, wanita menyeberangi sungai sementara pria mengganggu mereka dengan teriakan. Selain itu, dalam prosesi Rabo Pungkasan, sebuah lemper besar diarak, diiringi dengan berbagai pertunjukan kesenian tradisional dari masyarakat setempat serta tokoh agama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News