Sebuah cuitan di “X” diteruskan oleh seorang kawan di grup WA kami: “Admin Good News From Indonesia apa gak pusing ya, makin ke sini makin gak ada news yang good”. Cuitan dari @norative tersebut dilihat 72 ribu kali, di-repost lebih dari seribu akun lainnya.
Saya senyam-senyum membaca cuitan tersebut. Sambil dengan getir mengakui bahwa kita memang sedang dikelilingi oleh berbagai kontroversi, polemik, aneka bad news. Terlalu banyak kejadian yang membuat orang geleng-geleng kepala. Benarkah seperti ini Indonesia yang katanya sedang menuju masa keemasan 2045?
Bagaimana GNFI melihatnya?
Sebagai media dengan brand yang terang-terangan punya misi menyebarkan berita-berita baik, sejak awal kami terbiasa bekerja untuk menggali cerita-cerita non-mainstream. Karena biasanya isu yang mainstream adalah yang panas dan jadi perhatian publik. Dan itu bad news. Mengangkat sisi good news adalah pilihan yang tidak seksi bagi kebanyakan media. Begitulah dulu, sekarang pun masih.
Tapi bagaimana sebenarnya GNFI melihat berita baik? Apakah berarti orang-orang GNFI menutup mata dari banyaknya masalah di sekitarnya dan menganggap semua sedang baik-baik saja? Atau, apakah GNFI selalu membaik-baikkan sesuatu padahal sebenarnya sebaliknya?
Untuk menjawabnya, saya ingin menggarisbawahi beberapa hal berikut.
Pertama, (orang-orang) GNFI sama sekali tidak tutup mata terhadap berbagai isu tersebut. Kami di GNFI sering terlibat dalam diskusi-diskusi di kantor atau di manapun ada kesempatan. Sambil makan bareng, di sela-sela kerja, atau saat hanya ngobrol ngalor ngidul saja.
Kami tidak ingin menjadi naif dan mengabaikan hasil kami dididik di sekolah maupun kampus, yang seharusnya membuat kami terbiasa menganalisa dan kritis.
Saat GNFI menyajikan berita-berita baik tentang Indonesia pun, sejatinya itu adalah sebagian dari sikap kritis. Yaitu respon terhadap pentingnya hal-hal baik diapresiasi meskipun sering kali tertutup di bawah permukaan berita-berita sensasional . Agar tidak hanya yang bad news saja yang menjadi konsumsi keseharian kita, karena semestinya masih sangat banyak hal-hal baik.
Maka, begitu pula kami melihat situasi yang berkembang di masyarakat. Meskipun masih sangat banyak hal-hal baik yang bisa diangkat. Kami merasa kita tidak bisa menutup mata bahwa masalah ada di mana-mana.
Gejala masyarakat sedang mengalami kondisi sulit menguat di sekitar kita. Korupsi dalam berbagai bentuknya masih ada di berbagai tempat. Hukum terlihat hanya serius ketika ada kasus yang berhasil viral, itu pun masih dipenuhi drama dan alibi. Emosi masyarakat (penonton) seakan digiring dan diaduk-aduk. Pihak-pihak saling membangun narasi dan kontra-narasi.
Kedua, beberapa dari kami terlibat cukup intens dengan berbagai persoalan tersebut. Serta ikut memikirkan apa yang dapat dilakukan untuk setidaknya ikut memperbaiki keadaan – dengan apa yang bisa dilakukan. Melalui pekerjaan kami di GNFI maupun di luarnya.
Ketentuan di GNFI yang bisa bekerja dari mana saja memungkinkan kawan-kawan masih bisa melakukan hal lain di luar pekerjaan kantor. Berkegiatan sosial, terlibat dalam berbagai aktivitas komunitas, menempuh studi, melakukan penelitian akademik, mengikuti berbagai event, kursus, hingga dan kumpul-kumpul dengan kelompok-kelompok hobi maupun minat di daerahnya masing-masing.
Ini memperbesar peluang orang-orang GNFI terpapar dan terlibat secara intens dengan beragam isu. Baik sebatas membahasnya atau secara aktif ikut serta dalam upaya memikirkan dan mengatasinya.
Ketiga, kebijakan editorial GNFI masih tidak berubah, yaitu mengangkat masalah dengan tidak berhenti pada masalahnya saja. Tapi pada solusi, pada pergerakan dan upaya yang dilakukan oleh banyak sekali individu maupun pihak yang tidak diam ketika melihat masalah. Mereka yang tidak hanya menunggu masalah selesai dengan sendirinya. Tapi secara aktif ikut betindak.
Kami memilih jalur jurnalisme solusi. Ini bukan berarti mendikte audiens tentang yang harus dilakukan, tapi mengangkat peristiwa maupun sosok-sosok yang menunjukkan bahwa kita tidak kekurangan orang yang mau berjuang untuk mengatasi masalah. Sosok dan upaya-upaya tersebut seharusnya bisa menstimuli memunculkan ide-ide baik di benak kita.
Kritis dan Tetap Membangun Harapan
Sikap kritis teman-teman GNFI tercermin dari produk-produk editorial kami. Bukan hanya di GNFI, tapi juga di media-media GNFI lainnya, seperti GoodStats.
GoodStats yang berbasis data menunjukkan angka-angka statistik yang menarik dan penting. Tentang posisi/peringkat Indonesia (dalam berbagai bidang), termasuk tentang opini publik melalui survei yang dilakukannya.
Misalnya beberapa waktu lalu GoodStats melakukan survei opini publik dan menurunkan laporan berjudul “Benarkah Mayoritas Masyarakat Punya Pengalaman Buruk dengan Polisi?”.
Sebagian besar responden menjawab iya (79%), mereka pernah punya pengalaman buruk dengan lembaga penegak hukum dan ketertiban ini. Di Instagram GoodStats, lebih dari 2.600 komentar seperti memvalidasi hasil survei tersebut. Hampir semuanya jadi ikut menceritakan pengalaman buruk mereka berurusan dengan lembaga penegak hukum ini.
Sebegitukah getirnya kenyataan ini? Nyatanya memang begitu. Bukan good news, tapi harus kita akui fakta ini ada.
Namun kami tidak berhenti di situ, karena potret harapan masyarakat terhadap institusi kepolisian agar bisa lebih baik masih besar. Bagaimanapun kita tetap memerlukan hadirnya polisi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Kita memerlukan polisi yang benar-benar profesional dan punya martabat. Kita mendukung setiap upaya perbaikan.
Bagi kami, sesuatu yang buruk apalagi menyangkut kepentingan publik sudah seharusnya diberitakan. Ia penting sebagai alarm. Untuk membangunkan. Tapi sebaiknya tidak berhenti di situ, karena kita perlu mendorong adanya perbaikan-perbaikan, solusi-solusi.
Contoh di atas adalah sedikit kenyataan masyarakat dan dunia tempat kita sekarang tinggal. Maka wajar jika ada yang akhirnya bersikap masa bodoh atau sebaliknya, overthink dan cemas. Situasi ini juga memakan korban: kita seperti tidak punya cerita baik sama sekali.
Padahal cerita-cerita baik masih sangat banyak. Sayangnya, mereka lebih sering tertutup oleh algoritma.
Misalnya, kami baru saja membuat program Rekam Maestro. Bekerja sama dengan Kemendikbudristek, selama sebulan kami mengundang masyarakat untuk menyampaikan rekaman sosok-sosok yang tergolong maestro kebudayaan di sekitar mereka. Hasilnya, 462 rekaman/dokumenter maestro pelestari budaya dikirimkan kepada kami.
Melalui program ini, kita jadi bisa menyaksikan para pelestari budaya yang masih sangat bersemangat di berbagai pelosok daerah. Mereka melestarikan tradisi, menjaga lingkungan, merawat kearifan nusantara. Meskipun yang mereka hadapi tidak mudah, tapi melihat semangat mereka bukankah itu sangat menggugah?
Sumber-sumber cerita baik masih banyak lagi. Di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Sayangnya mereka masih banyak yang tak tahu bagaimana caranya bisa dilihat orang banyak. Mereka memilih menekuni saja kegiatan-kegiatan dan perjuangan baiknya, dan tak sempat (atau tak bisa) membuat konten dan membangun branding bagi dirinya maupun apa yang dilakukannya. Sehingga keberadaan mereka tak diperhitungkan karena tidak terlihat di media sosial.
Akhirnya,
Optimisme bukan soal yakin semua baik-baik saja dan karenanya menolak atau pura-pura tidak melihat ketika ada sesuatu yang buruk terjadi.
Optimisme seharusnya adalah sikap realistis bahwa dunia ini tempatnya banyak sekali cerita. Buruk maupun baik. Yang buruk diperbaiki, yang baik harus bisa mendapat tempat dan apresiasi.
Saat ada yang buruk, jangan tutup mata terhadap yang baik. Meskipun algoritma media sosial kita membanjiri dengan informasi seperti itu. Saat ada yang baik pun, jangan kehilangan nalar kritis. Kita tidak seharusnya merasa baik-baik saja dan bersikap tenang-tenang saja, padahal sedang berada di pinggir jurang yang hampir runtuh.
Semoga kita tidak jadi bagian yang buru-buru putus harapan dan menganggap sekitar kita sepenuhnya menyebalkan dan tidak ada hal baik lagi yang bisa kita temui. Karena jika demikian, kita sudah tamat tergulung algoritma.
Dan yang lebih penting, mudah-mudahan saja kita adalah bagian dari solusi, bukan jadi bagian dari masalah-masalah yang menjengkelkan itu []
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News