Benjang merupakan salah satu kesenian khas dari Bandung. Pertunjukan ini memadukan antara seni musik tradisional Sunda dengan aksi beladiri pada satu kegiatan.
Mirip dengan kesenian kuda renggong, benjang sering kali diadakan untuk menjadi ajang arak-arakan yang dalam proses hajatan atau helaran. Oleh karena itu, tradisi ini sering kali disebut sebagai ‘Benjang Helaran’.
Budaya ini masih sering diadakan dan tetap lestari hingga saat ini di wilayah Bandung Timur. Wilayah tersebut antara lain Kecamatan Cileunyi, Kecamatan Ujung Berung, Kecamatan Cibiru, Kecamatan Cilengkrang, dan Kecamatan Cimenyan. Bahkan, Benjang ini sendiri hampir selalu hadir menemani masyarakat Bandung di setiap pekan.
Tradisi Badawang, Kesenian Boneka Raksasa Asal Kabupaten Bandung
Keunikan dari kesenian benjang ini sendiri membuat kesenian ini menjadi identitas kuat dari wilayah Bandung Timur. Kawan penasaran dengan cerita Tradisi benjang? Yuk, Simak ceritanya pada penjelasan berikut!
Asal Usul Benjang
Dikenal sejak abad ke-19
Mengutip laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, sejarah dari tradisi benjang sendiri dapat diketahui mulai sejak akhir abad ke-19 dan dikenal sebagai permainan para lajang perkebunan kopi pada saat itu.
Para lajang yang menjadi pelaku kegiatan Benjang tersebut seringkali dikenal sebagai “sasamben”. Oleh karena itu, kesenian tersebut dikenal sebagai “sasamben budak bujang” dan disingkat menjadi “Benjang”.
Kegiatan yang sudah membudaya tersebut terus berlanjut hingga pada awal abad ke-20 seni benjang mengalami proses asimilasi dengan seni terebangan dan seni gedut. Seni terabang sendiri merupakan seni musik bernuansa Islam yang menggunakan sejenis rebana dalam memainkannya, sedangkan seni gedut merupakan seni beladiri hasil pengembangan dari seni rudat.
Pada waktu tersebut aktivitas ini sudah menjadi budaya di masyarakat dan memiliki fungsi dalam tatanan kehidupan sosial. Fungsi dari benjang pada waktu itu sendiri menjadi ajang silaturahmi antarwarga. Pada tahun 1923, seni ini berkembang ke bentuk seni pertunjukan gulat tradisional yang dinamakan “Benjang Gelut” (gelut=berkelahi).
Berkembang Menjadi Seni Arak-arakan
Seni benjang terus mengalami perkembangan sehingga mengalami proses penambahan prosesi dalam kegiatannya. Hal tersebut terjadi karena kegiatan Benjang ini seringkali diadakan pada waktu malam hari sehingga dahulu wawaran (pemberitahuan) pada siang harinya.
Pada aktivitas wawaran inilah prosesi dari aktivitas benjang ini mengalami perkembangan. Kegiatan pemberitahuan ini sendiri seringkali dilakukan dengan cara menabuh waditra atau alat musik benjang. kegiatan tersebut pada umumnya dilakukan di lokasi yang mejadi arena pertunjukan.
Kegiatan wawaran tersebut kemudian berkembang dilakukan menjadi berkeliling kampung sambil diringi beberapa kesenian lain. Kesenian lain tersebut, seperti Kuda Lumping, Bangbarongan, dan Kesweh. Oleh karena itu, pada tahun 1938, seni Benjang berkembang ke bentuk seni arak-arakan yang disebut “Benjang Helaran”.
Sejarah Hari Ini (26 Oktober 1992) - Museum Seni Pertama Kota Bandung, Museum Barli
Kesenian benjang ini mencapai masa keemasannya pada periode tahun 1955 sampai 1965. Pada waktu tersebut, benjang dimainkan 24 jam penuh, dari benjang helaran (pagi), ke topeng benjang (sore), hingga benjang gelut (malam sampai menjelang subuh). Bahkan tari topeng benjang berkembang menjadi pertunjukkan sandiwara tradisional. Saat ini seni benjang tidak dimainkan lagi menjadi suatu pertunjukkan yang utuh, karena alasan ekonomis.
Kesenian benjang ini tetap bertahan dan lestari hingga masa modern saat ini. Bahkan, kesenian benjang hampir pasti diselenggarakan pada setiap pekan untuk mengiringi pesta khitanan dan sejenisnya.
Referensi:
Kemendikbud. 2019. Benjang. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1173
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News