Udara yang sejuk dengan hembusan angin pagi mengiringi langkah saya ke sebuah dapur opor bebek yang terletak di Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Kala itu, matahari baru saja muncul dari balik cakrawala. Goresan jingga dengan latar biru menyelimuti awan untuk menyambut Rabu Pahing.
Saya memasang rute Google Maps di gawai dengan pencarian “Opor Bebek Bu Suyud”. Jaraknya dekat, hanya 1,5 kilometer dari rumah nenek. Sebelum mengunjungi Opor Bebek Bu Suyud, di malam harinya saya berbincang dengan ibu dan sepupu saya yang lama tinggal di Turi, Sleman.
Bak nostalgia, kami sama-sama dihubungkan dengan memori kentalnya kuah opor dan lembutnya daging bebek yang dijajakan di Pasar Turi setiap tanggalan Jawa, Pahing dan Kliwon. Artinya, dalam seminggu hanya dua sampai tiga kali kami bisa menemukan Opor Bebek Bu Suyud di Pasar Turi kala itu. Persis dengan tanggalan buka Pasar Turi sendiri.
“Dulu kan kamu sering makan itu, Kak. Tapi, memang sudah lama Bu Suyud gak jualan lagi di pasar,” tutur Ibu saya.
Sejak pandemi Covid-19, sepupu saya juga mengatakan bahwa ia tidak pernah lagi menemukan lapak Opor Bebek Bu Suyud dengan panci besarnya di pasar dekat Sekolah Dasar (SD) tersebut. Padahal sebelum itu, Opor Bebek Bu Suyud menjadi primadona sarapan warga lereng Gunung Merapi.
“Ada beberapa penjual opor bebek di Pasar Turi. Tapi, yang paling terkenal memang punyanya Bu Suyud,” timpal Ibu saya.
Cara Tradisional Dipertahankan
Setelah 350 meter melewati Pasar Turi ke arah utara, langkah kaki saya sampai di depan rumah Bu Suyud yang menjadi lapak baru setelah pandemi Covid-19. Rumah beliau berada di pinggir jalan dengan papan kayu bertuliskan “Opor Bebek-Ayam Goreng/Panggang & Sedia Salak Pondoh ‘Bu Suyud’”.
Menurut Bu Rusdiah sebagai anak Bu Suyud yang melanjutkan usaha makanan ini, pelanggan perlu memesan terlebih dahulu jika ingin membeli menu selain bebek.
-min.jpg)
Di depan rumah tersebut terdapat tumpukan kayu bakar yang menjadi sumber api untuk memasak opor bebek. Tidak ada lahan parkir yang tersedia dan nihil kendaraan berhenti pukul enam pagi saat saya sampai. “Warung” terbuka yang menandakan orang berjualan pun tidak tampak dari lapak Bu Suyud.
“Kulo nuwun.”
“Nggih. Monggo, Mbak.”
Saya memasuki bagian belakang rumah Bu Suyud yang langsung mengarah ke dapur. Kepulan asap dengan sedikit pencahayaan dari jendela terbuka dan lampu gantung menjadi pemandangan yang menyapa saya. Belum sempat saya duduk, perut rasanya sudah memanggil ingin cepat-cepat melahap opor bebek.
Aroma kunyit, kemiri, ketumbar, bawang merah, bawang putih, dan rangkaian rempah lain beradu menjadi satu memenuhi ruangan. Di depan saya terdapat tiga tungku kayu bakar yang di atasnya tersaji panci dan wajan besar berisi opor bebek. Api tersebut terus menyala hingga Rusdiah, anak dari Bu Suyud, datang dari pintu belakang saya duduk.
-min.jpg)
“Sebentar ya Mbak, saya sajikan untuk Mas ini dulu. Sudah mruput dari tadi,” ujar Rusdiah.
Di samping saya, terdapat sebuah amben dari semen yang diduduki empat laki-laki pelanggan Opor Bebek Bu Suyud. Mereka datang sejak pukul lima pagi hanya untuk menyantap sarapan opor bebek di sini. Salah seorang dari mereka menyebut bahwa mereka datang dari Bekasi dan sedang berlibur di Yogya.
Bu Suyud datang membawa satu bakul nasi putih hangat dan dua piring opor bebek yang masih panas. Khusus untuk mas-mas ini, Rusdiah menyediakan nasi putih. Secara default, dapur ini sebenarnya tidak menyediakan nasi putih yang dijual bersama opor bebek.
Jika pembeli ingin makan di tempat, maka kami harus membawa nasi putih sendiri. Pilihan lainnya adalah membeli potongan opor bebek dan membawanya pulang untuk makan di rumah bersama keluarga.
“Mungkin karena mereka datang dari jauh dan sudah memesan sebelumnya, makanya disediakan nasi” pikir saya.
Rusdiah memutar kayu bakar dan menyiram bara dengan kuah opor menggunakan centong sayur kayu agar apinya tetap menyala. Kemudian dengan ramah, beliau melayani saya menanyakan ingin bebek bagian apa. Masing-masing bagian memiliki harga yang beragam.
Untuk potongan daging bebek, Rusdiah memasang harga Rp11.000 per potong. Sementara untuk bagian badan, beliau memberikan harga Rp18.000. Harga ini memang sudah naik jika dibandingkan dulu saat beliau masih berjualan di Pasar Turi. Namun, saya rasa tidak masalah karena kualitasnya pun tetap sama.
-min.jpg)
Resep Turun-temurun
Sejak Ibu saya masih duduk di bangku SD, Bu Suyud sudah berjualan opor bebek di Pasar Turi. Nama beliau sudah terkenal di seantreo pasar. Warga pun hapal dengan lapak opor bebek beliau. Bahkan, ketika saya dan keluarga berkunjung ke rumah nenek di lereng Gunung Merapi ini, ada kalanya kami menyempatkan membungkus opor bebek sebagai bekal di jalan pulang ke Jakarta.
Jika ditelusuri, jauh sebelum itu Bu Suyud telah menjajakan resep andalannya, tepatnya sejak 1960. Kemudian, pada tahun 2009, usaha Opor Bebek Bu Suyud dilanjutkan anaknya, Rusdiah, karena Bu Suyud sempat jatuh yang mengakibatkan kakinya patah. Lalu, pada 2018 Bu Suyud meninggal dunia. Berkat Rusdiah, kehangatan opor bebek masih bisa dirasakan hingga kini.
“Hmm… Rasanya dari dulu tetap sama,” kata Ibu saya mencicipi kuah dan potongan daging dari Opor Bebek Bu Suyud yang sudah saya bawa pulang ke rumah.
Kentalnya kuah santan dengan butiran halus parutan kepala, empuknya daging bebek, dan aroma rempah yang kuat menjadi kesatuan lauk yang dapat membangkitkan selera lidah siapapun. Terbukti dari nenek saya yang saat ini sudah memasuki usia 90 tahunan selalu lahap jika menyantap opor bebek.
Saya salut dengan kegigihan Rusdiah yang tetap bisa mempertahankan resep dari sang ibu. Hal ini mengingatkan saya pada series Jepang yang pernah saya tonton untuk menemani makan siang: The Road to Red Restaurants List.
Series tersebut menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan untuk mencicipi makanan dari restoran yang akan punah karena tidak ada penerusnya. Syukurnya, Opor Bebek Bu Suyud tidak memenuhi syarat untuk masuk dalam episode The Road to Red Restaurants List berkat kehadiran Rusdiah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News