Siapa di antara Kawan GNFI yang senang sekali berbasa-basi? Pernahkah terlintas di benakmu bahwa sebuah istilah bisa disulap menjadi identitas milik suatu kelompok dan membantu mereka membatasi percakapan yang tengah berlangsung?
Bahkan ketika mendengar ujarannya saja, kita sudah bisa menerka loh, soal latar belakang suku bangsa yang mereka miliki! Ini dia, orang-orang Melayu di Pulau Penyengat.
Jika Kawan GNFI pernah berkunjung ke Kota Tanjungpinang, tentunya Pulau Penyengat ini adalah salah satu destinasi wajib ketika berpelesir di tanah Melayu. Pulau Penyengat adalah sebuah pulau pusaka yang dengan nama lainnya yakni si Inderasakti. Jaraknya hanya sekitar 2 km saja dari pusat Kota Tanjungpinang.
Jaraknya terbilang dekat karena nantinya kita hanya akan duduk kurang lebih 15 menit di atas pompong untuk menyeberangi lautan agar sampai di Pulau Penyengat. Cukup dengan harga Rp9 ribu saja, Kawan GNFI bisa menikmati sepoi angin dan hamparan laut yang membentang. Dekat, hemat, dan minim penat!
.jpg)
Masyarakat yang tinggal di pulau tersebut mayoritas adalah orang Melayu yang datang dari segala penjuru wilayah perairan yang ada di Kepulauan Riau. Entah karena migrasi, urusan pekerjaan, atau karena sudah bertali pernikahan dengan orang Penyengat.
Menelisik Kebudayaan Daerah Melalui Kebendaan, Tradisi, Maupun Bahasa di Kota Kudus
Mereka bahkan menghabiskan hampir separuh hidupnya di pulau bertuah ini, loh. Beberapa di antaranya juga masih rela pulang-pergi untuk pergi bekerja di pagi hari dan pulang dengan berpompong menuju rumah mereka yang hangat.
Masyarakatnya benar-benar menjadikan Penyengat sebagai rumah untuk mereka pulang dan berpulang nantinya. Bila bertandang ke sana, orang-orang Penyengat ini 'menyajikan' kita hamparan senyum dan suguhan ramah-tamah yang manis.
Tidak ada di antara mereka yang tak saling mengenal loh, Kawan GNFI. Bagaimana tidak, luas pulau yang hanya 240 Ha membuat masyarakatnya tentu saling terikat dan bersinggung sapa saat bertemu muka.
Bualnya Orang Melayu
Bukan orang Melayu namanya kalau tak pandai berbual. Eits, tetapi bukan besar bual alias cuma ngomong doang, ya! Kebiasaan berbual orang Melayu ini menjadikan kehidupan masyarakat di Pulau Penyengat menjadi riuh.
Perbincangan yang seolah tak pernah usai juga menjadi salah satu alasan mengapa hubungan yang dimiliki sesamanya begitu lekat, bak saudara sekandungan ibu! Meskipun begitu, mereka tetap menggunakan bahasa ibunya dalam berinteraksi, yaitu bahasa Melayu.
Konon, bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Penyengat senada dengan bahasa Melayu milik Orang Johor (Malaysia), nih, Kawan GNFI. Namun, bukan bahasa "betul, betul, betul" seperti kartun iconic Negeri Jiran yang suka kita lihat di tabung TV itu, ya.
Berbual oleh orang Melayu tampaknya bukan hanya sebuah kebiasaan yang mendarah daging, melainkan sebuah kepandaian. Bayangkan, seorang Melayu bahkan bisa berlama-lama duduk di kedai kopi, lompat dari satu perbincangan ke perbincangan lainnya tanpa letih lenguh! Kalau kita, mungkin sudah mulai menggaruk-garuk kepala setelah 20 menit bercengkrama.
Wah, jika sudah kepalang lama berbual, bagaimana menghentikannya? Bagaimana juga ya, orang-orang Melayu di Pulau Penyengat ini menolak halus supaya tidak lama berbincang bual?
Pelestarian Budaya dalam Bahasa Daerah: Ngamumule Basa Sunda Mieling Basa Indung
Katakan Tak Ade, Solusinya!
Berbual memang merupakan hal yang paling menyenangkan, kita bisa bertukar cerita apa saja sampai lupa waktu. Tak jarang loh, saking asyiknya berbual, kita jadi terhambat dan mengulur waktu untuk mengerjakan sesuatu.
Nah, itu dia peran si “tak ade”. Istilah “tak ade” sebenarnya hanya ungkapan sederhana yang apabila diartikan bermakna sama, yaitu tak ada. Bagaimana mungkin ya, ujaran tersebut justru menjadi jurus sakti supaya tidak terjebak perbualan yang bertele-tele?
Ini dia, jawabannya! Mobilitas penduduk orang Penyengat ini terbilang cepat. Mereka akan wara-wiri mengurusi urusan mereka di pulau tersebut. Tak jarang juga sampai harus menyeberang ke Tanjungpinang. Maka dari itu, mereka kadang kala akan terburu-buru mengejar waktu. Kawan GNFI ingat kan, kalau mereka ini senang berbual?
Nah, sering kali dalam waktu yang sempit dan tergesa ini mereka justru dihadapkan dengan interaksi basa-basi, sekedar bertanya "Nak pegi kemane tu" atau "Oi ape hal yang nak dibuat?" Satu pertanyaan, hanya satu pertanyaan semacam ini yang justru menjadi momok bagi mereka yang ditanya. Duh, bakal lama nih!
Lalu, muncullah kata “tak ade”. Masyarakat setempat jadi sering kali menjawab “tak ade” ketika mereka ditanyai oleh sesamanya, agar lebih cepat dan hemat waktu. Uniknya, Orang Penyengat sendiri seolah sudah menangkap maksud mengapa ujaran tersebut tercetus di antara mereka.
Istilahnya sudah tahu sama tahu, sepaham. Inilah yang membuat si penanya tidak akan melanjutkan obrolan karena sudah mengerti bahwa lawan bicaranya sedang dihimpit waktu dan terburu. Tak ada yang bersikut singgung karena jawabannya terkesan menggantung.
Tak Ade, Pembatas Bualan yang menjadi Wajah Orang Melayu
Selain menjadi jurus terakhir supaya tidak berbual terlalu lama, intensitas diucapakannya “tak ade” kemudian berkembang dalam tingkatan yang lebih tinggi, loh Kawan GNFI. Istilah tersebut kemudian secara tidak tertulis menjadi paras orang Melayu untuk mengenali bangsanya sendiri.
Bahasa Daerah dalam Keluarga: Cara Melestarikan Budaya dari Lingkungan Terkecil
Ibarat, kalau dah cakap tak ade tu pastilah Orang Melayu. Masa, sih? Ini dibuktikan dengan terbitnya karya milik mantan wali kota Tanjungpinang, Suryatati A. Manan, pada 2009 lalu yang berjudul “Melayukah Aku”.
Buku tersebut memuat ragam puisi dengan salah satu puisinya yang bernama sama dengan sang judul. Suryatati menuliskan ragam unik orang Melayu yang salah satunya akan berujar “tak ade” ketika ditanyai.
Kebiasaan berbual yang terus bergulir ini yang kemudian secara tidak sadar dijadikan oleh masyarakat tuturnya sebagai ethnic identity. Bukan hanya memudahkan mereka untuk mengenali sesamanya, melainkan juga memudahkan orang lain menegatahui soal bangsa mereka, orang Melayu.
Inilah “tak ade”, sederhana tapi justru menjadi detektor untuk melihat seberapa Melayukah aku dan Melayukah kita, Kawan GNFI?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News