Istilah greenflation muncul dalam debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) RI di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), Minggu (21/1/2024). Apa artinya?
Greenflation adalah akronim dari green inflation atau inflasi hijau. Istilah ini mengacu pada inflasi yang terjadi akibat transisi energi hijau, demikian tertulis dalam situs BNP Paribas, grup perbankan internasional asal Prancis.
Mengapa bisa terjadi inflasi hijau?
1. Pajak karbon meningkat
Banyak faktor yang memicu inflasi terjadi selama transisi energi hijau. Pertama, peningkatan biaya pajak karbon. Harga satu ton CO2 saat ini lebih tinggi sepuluh kali lipat daripada ketika Perjanjian Paris baru ditandatangani, 12 Desember 2015. Badan Perdagangan Internasional (IMF) pada Juni 2021 menyatakan bahwa pajak karbon global perlu naik menjadi 75 dolar AS per ton pada 2030. Angka itu akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya.
Alasannya, emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca (GRK) harus dikurangi seperempat hingga setengah pada 2030 agar iklim bisa kembali stabil. Emisi CO2 global diproyeksikan bakal meningkat dari 30 miliar ton pada 2020 menjadi 37 miliar pada 2030.
“Kita harus menahan pemanasan hingga jauh di bawah 2 derajat celsius dan idealnya menuju 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri. Emisi CO2 global pada 2030 harus dibatasi sekitar 15 hingga 25 miliar ton,” tulis Proposal Staf IMF.
Studi lain yang disebutkan ESGClarity menyarankan harga karbon perlu mencapai 160 dolar AS per ton pada akhir dekade ini untuk mencapai nol emisi (net zero emission) pada pertengahan 2050.
10,5 Juta Ton Emisi Karbon di RI Berkurang Berkat Teknologi Co-Firing
2. Pengurangan bahan bakar fosil
Untuk mendorong transisi hijau, pemerintah harus mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan memperkenalkan kebijakan yang mengurangi insentif bagi perusahaan untuk menambah produksi baru. Ketika perusahaan-perusahaan itu mengurangi investasi dalam eksplorasi dan ekstraksi, ada kemungkinan bahwa pasokan minyak dan gas baru akan menurun lebih cepat daripada permintaan. Kondisi itu menimbulkan tekanan ke atas pada harga. Dampak tersebut akan terjadi karena saat ini perusahaan minyak dan gas besar mulai mengalihkan fokus mereka kepada energi terbarukan.
3. Lonjakan permintaan bahan baku energi hijau
Permintaan pasar bakal lebih tinggi terhadap komoditas yang diperlukan untuk transisi hijau. Namun, beberapa mineral tersedia dalam jumlah terbatas.
Lonjakan permintaan litiium dan nikel, misalnya, akan terjadi akibat peningkatan kebutuhan kendaraan listrik. Begitu juga dengan tembaga yang dibutuhkan untuk kabel kendaraan listrik. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan litium bisa melonjak 40 kali lipat selama dua dekade ke depan karena penggunaan baterai meningkat.
Di samping itu, investasi pembangkit listrik tenaga angin juga bakal meningkatkan permintaan untuk seng dan tanah jarang. Sejumlah besar tanah jarang diperlukan untuk konstruksi panel fotovoltaik, bersama silikon dan perak.
Tidak semua aspek transisi hijau akan menjadi inflasi. Kebijakan pemerintah dapat membantu mengurangi penumpukan tekanan inflasi, misalnya dengan mengalokasikan pendapatan dari pajak karbon untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang lebih rentan. Langkah ini penting dilakukan mengingat dampak inflasi cenderung menyulitkan masyarakat berekonomi menengah ke bawah karena harga bakal jauh lebih tinggi untuk barang-barang penting.
RI Pamerkan Upaya Tekan Emisi Gas Rumah Kaca di COP28 Dubai
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News