Jenang sumsum bukan sekedar makanan. Ada nilai filosofis yang mendalam di baliknya.
Jenang adalah salah satu kekayaan kuliner Indonesia yang berasal dari Tanah Jawa. Pada dasarnya, jenang merupakan makanan yang terbuat dari beras putih dan beras ketan dan dimasak menjadi berbentuk seperti bubur.
Masyarakat Jawa mengenal jenang sebagai acara adat maupun keagamaan seperti hajatan dan selamatan. Jenis jenang pun ternyata bermacam-macam, di mana salah satu di antaranya adalah jenang sumsum. Jenang satu ini dibuat dari tepung beras yang dimasak dengan santan dan disajikan dengan kuah manis dari campuran air dan gula merah yang disebut juruh.
Jenang sumsum termasuk kuliner yang legendaris. Tak percaya? Cobalah datang ke Yogyakarta karena di sana ada sejumlah penjual jenang yang sudah beroperasi sejak puluhan tahun silam. Ada pula nama-nama bakulan alias lapak jenang yang terkenal sejak tempo dulu, contohnya Jenang Bu Gesti yang eksis sejak tahun 1950.
Dari generasi ke generasi, rasa gurih dan manis jenang sumsum senantiasa digemari. Adapun sensasi rasa seperti demikian dapat terasa karena jenang sumsum dimasak dengan santan dan diberi kuah gula merah. Namun, Anda perlu tahu juga bahwa selain rasanya yang nikmat, ada pula filosofi yang terkandung di balik jenang sumsum. Seperti apa?
Perbedaan Rawon dan Brongkos, Dua Sup Berkuah Hitam dan Berbumbu Kluwak
Filosofi Jenang Sumsum
Dari wujudnya saja, sudah ada makna filosofis yang terkandung di dalam jenang sumsum. Dawud Achroni dalam Belajar dari Makanan Tradisional Jawa mencatat bahwa warna jenang sumsum yang putih saja sudah ada filosofinya, yakni kebersihan hati. Ya, warna putih memang identik dengan sifat bersih dan suci, sebagaimana warna putih dalam bendera negara Indonesia.
Kemudian dari segi tekstur, jenang sumsum kental dan lengket apabila dipegang. Itu disebut sebagai lambang dari persatuan dan kesatuan hidup sesama manusia.
Setelah melihat wujudnya yang putih serta teksturnya yang kental dan lengket, cobalah mulai merasakan manisnya jenang sumsum. Nah, rasa manis dari juruh itu pun memiliki makna filosofis, yakni simbol kesejahteraan.
Bagi masyarakat Jawa, jenang sumsum juga dimaknai sebagai penghilang lelah alias tombo kesel. Ini berkaitan dengan tradisi memasak jenang sumsum setelah pesta pernikahan. Jenang sumsum akan disantap oleh seluruh anggota keluarga dan dibagikan kepada tetangga sekitar. Dengan kata lain, orang-orang yang sudah bekerja keras menyelenggarakan acara pernikahan akan kembali punya kekuatan dan diharapkan senantiasa diberi kesehatan dan berkah dalam hidup.
Tertarik mencicipi jenang sumsum?
Menikmati Surga Kuliner Ikan ketika Berkunjung ke Palangkaraya
Referensi:
Achroni, D. (2017). Belajar dari Makanan Tradisional Jawa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News